Penyimpangan Sosial
Sepintas, lakon Suaedi terkesan wajar. Tapi sebenarnya eksploitasi solidaritas mekanis adalah penyimpangan sosial. Lazimnya wujud solidaritas mekanis adalah pranata sosial hasil kesepakatan bersama, misalnya tolong-menolong dan gotong-royong, yang adil terhadap semua pihak. Lakon Suaedi menyimpang karena dia mengekploitasi sumberdaya solidaritas semata-mata demi keuntungan pribadi.
Di dasarnya, eksploitasi solidaritas sosial seperti yang dilakukan Suaedi sebenarnya menciptakan “ketakadilan”. Sebab dia mendapatkan uang dari seseorang tanpa imbalan apapun pada orang tersebut. Uang digunakan untuk menyejahterakan dirinya, sementara pemberi uang tak mendapat manfaat setimpal.
Ketidakadilan juga terbaca saat membanding “penghasilan” Suaedi dengan buruh industri yang bekerja keras secara fair minimal 8 jam/hari. Penerimaan Rp 15 juta/bulan, hasil eksploitasi solidaritas, sangat jauh di atas UMR Surabaya (Rp 2,588,000/bln) atau bahkan Jakarta (Rp 2,700,000/bln) tahun 2015.
Lakon ekploitasi bermodus pencitraan semacam Suaedi adalah penyakit sosial yang harus diberantas. Bukan saja karena menghasilkan “ketidakadilan”, tetapi juga karena tak berkontribusi positif terhadap perkembangan sosial-ekonomi masyarakat.
Penyakit sosial semacam itu sudah menggejala di sekitar kita. Citra “korban” atau “orang malang”, setiap hari dipanggungkan di berbagai tempat dan waktu. Ada misalnya lakon pengemis “cacat”, balita “terlantar”, pengamen “putus sekolah”, dan pendatang “kecopetan”. Semua itu adalah pemanggungan sebuah citra untuk eksploitasi sumberdaya solidaritas mekanis, demi mendapatkan simpati/empati dalam bentuk uang.
Untuk sebagian besar, timbulnya penyakit eksploitasi solidaritas itu dapat diterangkan sebagai kegagalan kelembagaan pengendalian sosial oleh pemerintah dan pengawasan sosial oleh masyarakat. Karena itu, upaya penyembuhannya mempersyaratkan pendaya-gunaan kelembagan sosial tersebut.
Pertama, pemerintah daerah/kota yang bertanggungjawab atas nasib golongan “penyandang masalah kesejahteraan sosial” (PMKS) harus memiliki dan melaksanakan peraturan (Perda) pengendalian PMKS. Perda itu harus menetapkan semua bentuk aktivitas eksploitasi solidaritas mekanis di ruang publik sebagai pelanggaran hukum dan mengharuskan pemerintah daerah/kota mengendalikan pelakunya, mlai dari cara pemberdayaan sampai penghukuman.
Kedua, masyarakat pada saat bersamaan menjalankan fungsi pengawasan sosial. Caranya dengan memobilisasi potensi solidaritas mekanis melalui jalur lembaga kesejahteraan sosial yang sudah eksis dalam masyarakat, misalnya BAZIS dan LSM berbasis komunitas. Intinya warga diarahkan bersedekah melalui lembaga kesejahteraan yang terpercaya, sementara lembaga tersebut pro-aktif memberdayakan PMKS dengan menariknya dari ruang publik.
Tentu dalam penanganan PMKS itu harus terbangun sinergi antara pengendalian sosial oleh pemerintah dan pengawasan sosial oleh masyarakat. Dengan cara demikian, penyakit eksploitasi solidaritas itu niscaya dapat disembuhkan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H