Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bersama Jokowi, Kita Bersakit-sakit!

18 Mei 2015   13:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Emang sakit, tapi perubahan itu pasti. Perubahan itu dimulai dari hal-hal yang menyakitkan. Ini hanya awal, tapi tidak kemudian."

Begitulah pesan Presiden Jokowi dalam kesempatan Jambore Komunitas Juang Relawan Jokowi di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu minggu lalu (Kompas.com, 16/5/2015).

Pesan itu disampaikan dalam rangka meminta masyarakat untuk mendukung kebijakan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor produktif, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

"Kita enggak mau masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif. Subsidi yang terdapat di dalam APBN itu berasal dari hutang luar negeri. Bener enggak sih kita seneng-seneng tapi duitnya dari hutang?" Jokowi mengajukan pertanyaan retoris.

Dalam bahasa Jawa, pesan Jokowi itu singkat saja: Jer basuki mawa bea. Artinya, serupa dengan pepatah klasik yang diajarkan di sekolah dasar: “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Syukur banget kalau janji “senang kemudian” itu terwujud. Tapi pertanyaannya di sini, mengapa harus rakyat yang diminta “bersakit-sakit” dahulu.

Mengapa pesan itu tak disampaikan pertama-tama kepada para pejabat pemerintahan dan parlemen? Adakah di antara mereka ini yang “ikut bersakit-sakit” sekarang dengan naiknya harga BBM dan aneka kebutuhan pokok? Bahkan para tersangka koruptor masih hidup enak di tahanan.

Gaji dan tunjangan pejabat pemerintahan dan parlemen dinaikkan. Sementara penghasilan rakyat relatif menurun. Ditandai dengan menurunnya nilai tukar. Saat inflasi mengalami peningkatan. Kurang sakit apa rakyat.

Saya jadi teringat pesan Presiden Soeharto waktu peresmian Waduk Kedungombo tahun 1980-an. Katanya kepada warga Kedungombo yang tergusur: Jer basuki mawa bea. Adakah warga Kedungombo yang tergusur itu “bersenang-senang kemudian”? Sama sekali tidak. Tapi “bersakit-sakit dahulu dan seterusnya” (sampai mati).

Rakyat, setidaknya saya, tak perlu memilih Jokowi jadi Presiden ke-7, jika hanya untuk “bersakit-sakit dahulu”. Karena dalam pemerintahan SBY sebelumnya, hidup saya tak “sesakit” sekarang. Saya mau hidup “lebih senang”.

Mungkin Presiden Jokowi akan bilang, “Sabar, ini tak akan lama.” Baiklah kalau begitu. Rakyat akan bilang, “Bersama Jokowi, kita bersakit-sakit dahulu!”

Tapi, masalahnya sampai kapan? Presiden dan para menterinya tak pernah bisa memberi tenggat waktu sampai kapan masa rakyat “bersakit-sakit dahulu”. (Pejabat pemerintah dan parlemen tak ikutan, ya). Sampai tahun 2019? Satu periode pemerintahan hanya untuk bersakit-sakit?

Jadi Pak Presiden, tolong yakinkan kami rakyat ini, bahwa masa “bersakit-sakit dahulu” ini benar-benar tak akan lama. Katakanlah tak lebih dari tanggal 20 Oktober 2015. Itu persis setahun pemerintahan Pak Jokowi.

Sebab, ibarat kata, air kini sudah merendam rakyat sampai batas bawah hidung. Lewat 20 Oktober 2015, saya khawatir, air akan naik ke batas alis sehingga rakyat akan kelelep.(*)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun