Dari 34 orang gubernur di Indonesia, ternyata Ahok, Gubernur DKI Jakarta adalah yang termiskin.Ini bukan hoax, tapi kenyataan.Saya akan jelaskan di bawah ini.
Terlebih dahulu, kita perlu bersepakat tentang dimensi ganda kemiskinan.Ada kemiskinan ekonomi, artinya tak punya uang banyak, misalnya gelandangan.Ada kemiskinan politik, artinya tak punya kekuasaan besar, misalnya buruh tani.
Ada pula kemiskinan budaya, artinya tak punya nilai budaya maju, misalnya pengemis.Ada kemiskinan moral, artinya tak bermoral, misalnya koruptor.
Lalu ada kemiskinan bahasa, artinya tak punya cukup banyak kosa kata untuk mengungkapkan pikirannya, misalnya anakTK.
Nah, dibanding 33 orang gubernur lainnya, Ahok tergolong paling miskin pada dimensi tersebut terakhir, yaitu “bahasa”.Bukan pada dimensi ekonomi, politik, budaya, dan moral.
Bukti kemiskinan bahasa yang diderita Gubernur Ahok bisa dengan mudah ditemukan dalam banyak pemberitaan ragam media online dan media cetak. Dari penelusuran berita-berita tersebut, dapat disimpulkan Ahok sangat miskin dalam hal kosa kata berkonotasi “halus” atau “santun”.
Terbukti Ahok, dalam banyak pernyataannya, lebih sering menggunakan kosa kata “kasar”.Misalnya: maling, rampok, bajingan, taik, bego, brengsek, belagu, (loe mau nyari) honor, (loe) komunis, dan (loe) miskin.Kata-kata kasar ini ditujukan Ahok ke semua pihak yaitu warga, aparat Pemda DKI, anggota DPRD DKI, dan pengusaha.
Sudah banyak orang yang mengritik Ahok tentang kemiskinan kosa kata “halus” ini.Wapres Jusuf Kalla dan Jaya Suprana adalah dua dari banyak orang itu.Intinya, para pengritik itu mahfum bahwa Ahok berniat baik.Tapi akan lebih baik lagi jika niat baik dinyatakan dengan kata-kata “santun”.
Lalu para pengritik itu, juga para pendukung Ahok , mendorong Gubernur DKI ini untuk memperkaya penguasaan kosa kata “halus”.Maksudnya, agar cara komunikasi Ahok dengan rakyat,birokrat, dan DPRD lebih produktif.Tidak menimbulkan “pertengkaran” yang kontra-produktif, seperti yang kini terjadi antara Gubernur Ahok dengan DPRD DKI.
Apakah Ahok mendengarkan kritik tersebut?Apakah dia kini memperkaya diri dengan kosa kata “halus”?Saya kira, jawabannya, “Tidak!”.
Mengapa Ahok tidak mendengar?Bukan karena tak punya telinga, tapi karena menyangkut perubahan identitasnya secara radikal.Kata pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa.”Identitas kemanusiaan Ahok adalah pada kemiskinan kata-kata “halus” itu.Kemanusiaannya tampil ke permukaan berupa kata-kata “kasar” itu.Jadi,Ahok selamanya akan seperti itu.Bukan Ahok kalau tak melontarkan kata-kata “kasar”.
Kabar baiknya, Ahok selalu melontarkan kata-kata “kasar” itu dalam konteks dan tujuan yang benar.Jadi, ada nilai “kebenaran” yang terkandung dalam kata-kata “kasar” yang dilontarkannya.
Kabar buruknya, telinga kebanyakan orang Indonesia sejak kecil selalu “diajari” untuk mendengar yang “halus”.Akibatnya, kalau mendengar kata “kasar”, langsung merah menyala, menyulut otak sampai mendidih, lalu marah.Tak peduli bahwa ungkapan “kasar” itu benar belaka substansinya.
Kabar sejuknya, ada ungkapan lama untuk kita camkan bersama: “Lemah-lembut bahasa setan, kasar menyakitkan bahasa manusia.”Jadi, pilih mana, Ahok yang miskin kosa kata “halus” atau yang kaya kosa kata “kasar”?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H