Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bir Tak Pernah Salah! Pak Ahok Benar

7 April 2015   16:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:25 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Bir salahnya di mana sih? Ada enggak orang mati karena minum bir? Orang mati kan karena minum oplosan cap topi miring-lah, atau minum spiritus campur air kelapa. Saya kasih tahu, kalau kamu susah kencing, disuruh minum bir, lho"

Itu asli kata-kata Basuki, di Balai Kota, Senin (6/4/2015), menanggapi larangan Kemendagri agar Pemprov DKI tidak mencantumkan lagi proyeksi pendapatan (pajak/retribusi) sebesar Rp 1.3 triliun dari miras.Alasannya, Mendag sudah melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket (Permendag No. 06/2015 (Kompas.com, 6/4/2015).

Gubernur Ahok rupanya kesal, karena dengan larangan Kemendagri itu, maka target penerimaaan Rp 1.3 triliun tak akan tercapai. Termasuk di dalamnya penerimaan dari PT Delta Djakarta (saham Pemprov DKI 26.25%), BUMD pemegang lisensi produksi dan distribusi antara lain bir bermerk Anker Bir, Carlsberg, San Miguel, dan Stout. Tahun 2014 lalu BUMD ini menyumbang Rp 50 miliar.

Kabar baiknya, walau kesal, Gubernur Ahok tetap akan mematuhi larangan Permendag No. 06/215 itu.

Tapi lepas dari rasa kesal itu, Pak Ahok sesunggunya benar belaka.Bir tak pernah salah!Karena benda mati tak pernah salah.Dan bir adalah benda mati.

Kalau begitu, dimana letak salahnya,. Agaknya harus dilacak ke ranah persepsi kita tentang bir, atau minuman beralkohol umumnya.Dalam budaya kita secara umum, bir atau alkohol rupanya telah dipersepsikan sebagai “zat perusak moral dan budaya”.Karena itu konsideran Permendag No. 06/2015 menyebut “…untuk melindungi moral dan budaya masyarakat …” Atas dasar itu pemerintah perlu mengatur pengendalian dan pengawasan terhadappengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol.

Implisit, Permendag itu mempersepsikan bahwa “minum bir berarti rusak moral atau amoral”. Atau, “minum bir berarti rusak budaya atau biadab.”Karena itu, untuk melindungi moral dan budaya, bir atau alkohol umumnya harus “dilarang”.Kedengarannya bagus sekali!

Tapi tunggu dulu!Numpang tanya.Apakahmoral/budaya masyarakat kita begitu lemahnya sehingga memerlukan perlindungan hukum?Seolah-olah sedemikian lemahnya sehingga jika tiap orang dari 250 juta penduduk Indonesiaminum segelas bir, maka segera setelah tegukan terakhir bangsa Indonesia langsung menjadi amoral dan biadab?

Terhadap pertanyaan itu, jika benar nilai budaya kita mengharamkan alkohol, maka jawabnya “Ya!”Tapi itu jawaban normatif.Apakah secara empiris, dalam bermasyarakat, penenggak segelas bir itu benar-benar jadi amoral dan biadab?Kalau jawabnya “Ya!”, tunjukkan satu bukti empiris saja!

Lagi pula, nilai budaya manakah di Indonesia ini yang benar-benar mengharamkan alkohol?Bukankah pada sebagian kelompok etnis, alkohol adalah budaya “kebendaan”, dan menjadi bagian dari ekspresi budaya?Pergilah di Flores.Di sana akan ditemukan acara minum moke (sulingan air nira)dari satu wadah bersama-sama sebagai ekspresi budaya saling-terima. Atau pergilah ke Tanah Batak.Di sana akan ditemukan rentetan lapo tuak sebagai ruang sosialisasi, sekaligus ekspresi budaya?Di dua kelompok etnis itu, moke/tuakadalah minuman adat.

Saya meragukan klaim yang menyatakan ada nilai budaya anti-alkohol di Indonesia.Tapi saya sepakat dengan klaim yang mengatakan ada nilai budaya yang menempatkan “orang mabuk-mabukan alkohol” pada lapis moralitas/sosial terendah.Memberi orang semacam itu label “rusak moral” (amoral) atau “rusak adab” (biadab).Label yang tercermin pula dari perilaku si pemabuk: perkataan dan tindakan kasar, bahkan kriminal.

Jadi, yang terjadi di sini agaknya perbedaan paradigma.Permendag No. 6/2015 menggunakan paradigma “manusia untuk alkohol”.Menurut paradigma ini moral/budaya manusia rentan menjadi korban alkohol.Karena itu moral/budaya manusia memerlukan perlindungan hukum dari pemerintah.

Sebaliknya, Gubernur Ahok menggunakan paradigma “alkohol untuk manusia”.Artinya, alkohollah yang tunduk pada moral/budaya manusia.Moral/budaya manusia adalah tapis yang akan mencegah alkohol merusak moral/budaya manusia itu.Dengan kata lain, alkohol termasuk bir tunduk pada moral/budaya.Hanya orang yang amoral/biadab saja yang menggunakan alkohol secara merusak.

Dengan kata lain, Gubernur Ahok sebenarnya mau mengatakan, jangan salahkan bir atau alkohol.Tapi salahkanlah orang-orang amoral/biadab yang menyalahgunakan alkohol sebagai sarana bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan pemicu sjahwat rendahan.

Berikanlah sebotol bir kepada seorang PNS koruptor, maka ia akan mabuk dan hilang kesadaran sehingga besoknya memindahkan lebih banyak uang negara ke rekeningnya.Tapi berikanlah sebotol bir kepada seorang PNS “pecinta bir”, maka ia akan mengajak temannya minum bersama, tanpa mabuk, sambil berembuk mencari jalan keluar dari masalah kehidupan.

Jadi, kalau saya Gubernur Ahok, maka saya akan katakan:“Seorang koruptor terlalu banyak untuk merusak DKI Jakarta dalam sehari dan seribu orang “pecinta bir” terlalu sedikit untuk memperbaiki kerusakan itu dalam setahun.”Tentu, saya tak bermaksud menganjurkan PNS atau warga bangsa ini menjadi “pecinta bir”.Minumlah air putih!(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun