Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Warning! DPR Akan Merampok Harta Terakhir Rakyat

8 September 2014   17:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357928" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Pilkada/Kompasiana (Kontan.co.id)"][/caption]

Hari-hari ini, di gedung DPR yang dibangun dari tetes keringat rakyat, sedang terjadi persekongkolan untuk merampok harta terakhir rakyat, yakni suara atau hak pilih langsung di pemilihan kepala daerah, pilkada.  Inilah harta yang pernah dirampas Pemerintah Orde Baru, dan kemudian didapatkan kembali, lewat perjuangan reformasi penuh darah, air mata, dan bahkan korban jiwa anak-anak muda.   Dan jika sekarang rakyat masih bisa tertawa, itu tersebab mereka masih memiliki satu-satunya harta terakhir itu.

Sungguh ironis, kelompok yang bersekongkol hendak merampok harta terakhir itu adalah mayoritas anggota DPR, yang memproklamirkan diri sebagai "Koalisi Merah Putih", yang dipilih rakyat dengan mengggunakan harta terakhir itu.  Seolah-olah, dengan memilih DPR itu, rakyat kini punya anak harimau yang mendadak besar di Senayan, yang siap menerkam dan mengerkah "suara" yang telah memenangkan mereka.

Alasan rencana perampokan itu, pertama, pilkada terlalu mahal, itu pemborosan.  Ya, tentu saja mahal, kalau pelaksanaannya masih pakai teknologi coblos, bukan teknologi sentuh.  Bukankah ada waktu dan biaya yang cukup untuk menerapkan sistem e-voting yang lebih murah, cepat, dan akurat?   Tidakkah bisa diusahakan agar kita cukup menempelkan jempol tangan kanan di layar pilihan kandidat kepala daerah, lalu sidik jari kita hanya akan terbaca sekali sebagai pemilih, lalu proses pemilihan selesai dalam hitungan detik?

Ada pula alasan pilkada dengan pemilihan langsung memicu politik uang dan korupsi.   Ini jelas alasan yang tidak masuk akal, karenapolitik uang dan  korupsi selalu akan menemukan ruang dan waktunya sendiri.   Bukankah politik uang dan korupsi juga meraja pada masa Orde Baru, ketika pemilihan kepala daerah ada di tangan DPR/DPRD?  Untungnya, waktu itu belum ada KPK, sehingga selamatlah para koruptor.   Lagi pula, kalau alasan ini dikemukakan, bukankah itu berarti kelompok DPR yang berencana merampok harta terakhir rakyat itu mau mengatakan, bahwa karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, maka mereka terpilih karena politik uang, dan karena itu akan korupsi untuk menutup kerugian, sekaligus akumulasi kekayaan supaya bisa sarapan di Singapura, makan siang di Kuala Lumpur, dan makan malam di Bali dalam satu hari?

Lantas dimunculkan pula alasan bahwa pilkada memicu konflik antar kelompok masyarakat.   Ini sungguh absurd, dan menghina kecerdasan sosial rakyat.   Dengan segala maaf, yang memicu konflik itu jelas-jelas adalah kandidat kepala daerah, jadi kenapa harus menyalahkan rakyat?   Rakyat tidak akan bersengketa, tidak akan berhadapan, kalau tidak disekat-sekat oleh elit politik, demi memenangkan kepentingan mereka untuk berkuasa.   Konflik antar kelompok dalam masyarakat sejauh ini lazimnya dipicu oleh elit sosial.

Wahai mayoritas anggota DPR yang sedang bersekongkol di Senayan, mengapa tidak berterus-terang mengatakan, bahwa alasan rencana perampokan hak pilih langsung rakyat itu adalah untuk menegakkan kekuasaan koalisi Anda di daerah, agar posisi koalisi Anda kuat untuk menghadapi dan bila perlu mengguncang dan melumpuhkan pemerintah pusat yang tidak berhasil Anda menangi?   Saya membayangkan, penguasa-penguasa daerah Koalisi Merah Putih akan mengepung pusat kekuasaan di Ibu Kota Jakarta.   Bayangan ini mencemaskan saya, karena mengingatkan saya pada suatu waktu di masa yang lampau, ketika ada orang meneriakkan jargon "desa mengepung kota".   Apa dan siapa gerangan yang hendak  Anda taklukkan, wahai anggota dewan yang terhormat, yang menyebut diri sebagai wakil rakyat?

Dan siapa yang bisa menjamin Anda, kelompok mayoritas DPR, akan berhenti pada soal pilkada?  Anda tahu sendiri, kekuasaan selalu lapar, dan tak akan pernah berhenti merambah.   Setelah pilkada, berikutnya adalah Pemilihan Presiden pada 2019 nanti.   Anda pasti akan menyetel ulang undang-undang, supaya Pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR-RI, untuk memastikan kemenangan di pihak Anda, karena Anda adalah mayoritas.

Tapi ingatlah, Anda, yang menyebut diri Koalisi Merah Putih, sedang dan akan selalu berhadapan dengan rakyat yang tinggal memiliki satu harta paling berharga pada saku mereka, yaitu suara, hak pilih langsung.  Ini mengingatkan saya pada  kata-kata James Scott, ketika bicara tentang perlawanan petani miskin di Asia Tenggara, katanya:  "Soalnya bukanlah  berapa banyak  diambil dari petani, tetapi berapa yang  tersisa pada mereka".   Artinya jika yang tersisa itu juga diambil, sehingga bumper terhadap tekanan hidup tak ada lagi, maka meledaklah revolusi, perlawanan berdarah kepada para perampok harta milik mereka.

Dan memang, bagi rakyat, jika hak pilih langsung yang merupakan harta terakhir itu akan dirampok oleh DPR juga, maka reaksi mereka, saya kira, akan mengikuti teriakan penyair pelo Wiji Thukul, yang pernah saya dengar  pada suatu sore di akhir 1980-an di Salatiga,  di antara gambar-gambar perlawanan  Semsar Siahaan: "Hanya ada satu kata: LAWAN". (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun