Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ahokrasi, Tepat dan Harus untuk Jakarta

16 September 2014   21:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:30 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta adalah yang Anda alami setiap hari di jalanan. Dimulai dengan kemacetan, lalu perebutan ruang maju, selanjutnya perampasan ruang publik dan busway, dan akhirnya khaos. Jalanan adalah persaingan tak sehat, kekerasan, kelicikan, korupsi, dan kejahatan.Pendek kata: khaos.

Kalau Jakarta adalah jalanannya, adalah khaos, apakah masih bisa mengandalkan birokrasi untuk menata-tertibkannya? Jawabnya: Tidak! Kenapa? Karena birokrasi Jakarta adalah bagian dari jalanan itu sendiri, bagian dari khaos itu sendiri. Itu sebabnya mengapa sampai keluar ucapan “bajingan” dari Ahok, Wagub Jakarta, ketika mendapati kenyataan birokrat Dinas Perumahan membisniskan rumah susun untuk kepentingannya sendiri.

Birokrasi Jakarta itu sudah terjangkit penyakit birokratisme, yaitu gejala birokrasi bukannya melayani kepentingan public, tetapi sibuk melayani kepentingan birokrasi dan birokratnya sendiri. Itulah sebabnya mengapa dulu setiap kali Jokowi, atau sekarang Ahok, blusukan ke kantor-kantor dinas, kecamatan, sampai kelurahan, selalu berujung dengan kekecewaan, kemarahan, sampai ancaman pemecatan pegawai, karena birokrat tidak becus melayani masyarakat.

Ambil contoh kasus unit layanan KIR kendaraan bermotor yang sudah ditutup. Birokrasi di unit ini punya prinsip: jujur berarti lama, curang berarti cepat. Artinya kalau Anda mau uji KIR dengan prosedur standar, maka prosesnya akan lama. Tapi kalau Anda menggunakan jalur luar-standar, dengan pelicin di atas meja (bukan di bawah), maka hasilnya akan cepat sekali. Benar-benar watak jalanan Jakarta, di mana Anda akan didahulukan melewati kemacetan di perempatan jalan, kalau mengacungkan selembar Rp 5,000 ke arah para pengatur lalu lintas sukarela (yang sering justru memperparah kemacetan).

Ahokrasi, yaitu pemerintahan cara Ahok (Ahok Ways) itulah alternatif untuk birokrasi ala Max Weber, yang diterapkan dalam organisasi pemerintahan Jakarta atau Indonesia umumnya. Ahokrasi itu, jika merujuk pada perilaku pemerintahan a’la Ahok, berpusat pada tiga nilai utama.

Pertama, cepat mengambil dan mengeksekusi keputusan. Kalau bisa ambil keputusan dan laksanakan langsung di lapangan. Tidak boleh berlama-lama, karena selama ini, perkembangan masalah Jakarta mengikuti deret ukur, sementara solusi dari pemerintah mengikuti deret hitung. Akumulasi solusi selalu ketinggalan dari akumulasi masalah.

Kedua, tepat, dalam arti efisien dan efektif. Artinya tidak boleh ada unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi sumber penyakit inefisiensi birokrasi, alias birokratisme. Semua langkah harus dihitung secara rinci dan teliti, tidak boleh ada pemborosan, apalagi salah hitung yang menyebabkan kegagalan.


Ketiga, keras, dalam arti tegas dan tanpa reserve. Mustahil menata tertib Jakarta dengan lemah-lembut. Sama seperti di jalanan, mustahil Anda sampai di rumah kalau lemah-lembut.Anda akan kehilangan ruang dan peluang setiap saat. Memimpin Jakarta harus keras seperti Bang Ali, tulus seperti Jokowi. Kedua watak itu, sedikit banyak, ada pada Ahok. Jadi kalau Ahok mengeluarkan serentetan pernyataan kontroversial, atau kasar menurut para pembaca gestur yang menggelikan di TV, maka itu adalah manifestasi nilai keras dalam Ahokrasi.

Jangan terlalu cepat menghakimi Ahok atas pernyataan-pernyataan kontroversialnya. Tapi cobalah dengan obyektif menempatkan setiap pernyataan dalam konteksnya, maka Anda akan menemukan kebenarannya. Menyakitkan, mungkin, ya, tapi begitulah kebenaran. Ada pepatah orang tua: Menyejukkan tutur kata setan, menyakitkan tutur kata manusia.

Tidak ada yang mampu mengatasi khaos di jalanan Jakarta, kalau tidak menerapkan tindakan cepat, tepat, dan keras. Maka tidak ada yang mampu mengatasi khaos Jakarta, kalau tidak memimpin dan bertindak secara cepat, tepat dan keras. Tentu semua harus dilakukan di atas rel konstitusi, bukan rel konstituen. Persis, itulah Ahokrasi yang hari-hari ini sedang populer, sungguh tepat dan harus untuk Jakarta. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun