[caption id="attachment_364259" align="aligncenter" width="630" caption="TRIBUNNEWS/HERUDIN"][/caption]
Trias Politica, berarti ada tiga penguasa.Maka ada eksekutif, judikatif, dan legislatif.
Sistem pemerintahan kita menganut Trias Politica juga.Maka ada eksekutif, judikatif, dan legislatif.Jelasnya, ada pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, pengadilan sebagai penegak undang-undang, dan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
Dalam Trias Politica, paling dinamis dan juga panas adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif.Panas karena legislatif itu berfungsi sebagai excecutive watcher, alias “pemelotot” eksekutif.Begitulah, DPR-RI kita menjadi “pemelotot” Kabinet Pemerintah.
Karena ganasnya “pelototan” DPR, maka dulu Presiden Soeharto punya strategi cerdas.Menciutkan partai politik menjadi tiga partai, satu besar sekali (Golkar) dan dua lainnya kecil sekali (PDI dan PPP).Dengan cara ini, DPR didominasi Golkar sebagai partai berkuasa.Maka, mudah ditebak, DPR dibonsai menjadi sekadar tukang stempel pemerintah.Bukan executive watcher lagi.
Makanya, sistem pemerintahan Orde Baru dulu, strukturnya benar Trias Politica, tapi perilakunya atau kulturnya “monolitik”.Semua tunduk di bawah Presiden Soeharto.
Sistem Trias Politica palsu (pseudo trias politica) itu dipertahankan terus sampai pada pemerintahan Presiden SBY sekarang.Karena Partai Demokrat yang berkuasa tidak memenuhi syarat mayoritas tunggal, maka dibentuklah Koalisi Partai Pendukung Pemerintah, yang kita kenal dengan nama Sekretariat Bersama.Tujuannya, agar kekuatan koalisi ini di DPR bisa berfungsi menjadi tukang stempel permerintah.Dengan demikian, program-program pem,erintah tidak terjegal di Senayan.
Sekarang, tampaknya tidak bisa begitu lagi.DPR dan kelengkapannya sudah dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang kalah dalam Pilpres 2014.MPR dan kelengkapannya, bisa dipastikan juga akan dikuasai oleh KMP.Sementara Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pendukung Pemerintahan Jokowi-JK, tidak kebagian kekuasaan di lembaga legislatif (DPR/MPR).
Jadi, kepada Pak Jokowi dan KIH-nya, harus dikatakan agar legowo menyerahkan kekuasaan di Senayan (lembaga legislatif) kepada Pak Prabowo dan KMP-nya. Anda konsentrasilah dengan kekuasan di Medan Merdeka Utara. Jangan cengeng, dengan mengatai KMP tidak punya etika, karena menyapu habis semua posisi pimpinan di DPR.Anda tahu, politik memang seperti itu, bukan?
Terimalah kenyataan bahwa kini bukan saatnya lagi menegakkan sistem Trias Politica palsu.Bukan saatnya lagi memaksakan sistem “monolitik”, suatu bentuk harmoni pemerintahan yang palsu.Bukan saatnya lagi memperlakukan DPR sebagai tukang stempel pemerintah.
Bukan jamannya lagi eksekutif menjinakkan legislatif, merekayasa politik “damai” antara keduanya, supaya program eksekutif tidak terhambat di Senayan.Rakyat sudah tahu bahwa di balik “politik damai” itu ada “politik uang” (uang damai), yang legal, karena dalam bentuk gaji, tunjangan, fasilitas, dan honor.(Ada juga yang illegal yang telah mengantar sejumlah eksekutif dan legislatif ke tahanan KPK).
Sekarang saatnya Pak Jokowi menerapkan pendekatan konflik dalam pemerintahannya.Bukan pendekatan harmoni yang penuh kepalsuan seperti selama ini.Lihat konflik secara positif, yaitu sumber perbaikan dan kemajuan.Dengan konflik, kesalahan bisa dilihat secara gamblang, sehingga perbaikan dapat dilakukan segera.Kedua pihak yang “berkonflik” juga akan lebih hati-hati, karena kesalahan dapat berarti kejatuhan.
Terima kenyataan bahwa eksekutif adalah KIH dan legislatif adalah KMP.Dengan demikian menjadi mudah untuk menilai kenirja eksekutif dan KMP.Lebih mudah menilai siapa yang membela atau mencederai rakyat.Lebih mudah untuk menilai siapa yang benar-benar tunduk pada konstitusi, dan siapa yang tunduk pada konstituen.
Bukankah KMP, lewat Aburizal Bakri, pernah menegaskan bahwa mereka akan memerangi liberalisme dan menegakkan Pancasila?Dan bukankah “revolusi mental” Jokowi berarti kembali ke Pancasila, kepada gotongroyong, dan meninggalkan liberalisme untuk menegakkan kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya Indonesia?
Jadi Pak Jokowi dan Pak Probowo, KIH dan KMP sudah berada pada platform politik yang sama.Dan pada platform ini, konflik politik sudah berlangsung dengan hasil 2-0 untuk keunggulan KIH atas KMP.
Pertama, KMP telah berhasil memaksakan “liberalisme” di DPR, yaitu pemungutan suara yang pasti dimenangkan oleh KPM yang lebih besar jumlahnya.Terbukti UU MD3 disyahkan, UU Pilkada DPRD disayahkan, dan pemilihan Pimpinan DPR dimenangkan KMP.Begitulah liberalisme a’la Amerika, sangat pragmatis, dengan prinsip “siapa besar maka dia menang, dan siapa menang maka dia benar”.Kedudukan 1-0 untuk KIH.
Kedua, KMP telah berhasil memenangkan kepentingannya dengan memaksakan pengesahan UU MD3 yang membuat anggota DPR menjadi The Untouchable, seperti mafioso Don Corleon yang tak terjangkau hukum, sehingga bisa aman melenggang ber-KKN, dan juga memaksakan pengesahan UU Pilkada DPRD yang merampas suara rakyat atau hak politik rakyat.Begitulah politik yang Pancasilais menurut KMP.Kedudukan 2-0 untuk KIH.
Jadi, Pak Jokowi, serahkan kekuasaan di Senayan sepenuhnya kepada Pak Prabowo, lalu jalankanlah strategi konflik politik yang indah dan produktif.
Dan satu hal, tolong Pak Jokowi pilih menteri yang mampu berkonflik di Senayan, seperti Pak Dahlan Iskan dulu.Jangan biarkan menteri menjadi titik lemah yang akan diincar DPR, lalu sewaktu-waktu dipukul telak, membuat pemerintahan Anda langsung KO. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H