Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Biru, Maka Aku Spesialis dan Hebat?

17 Oktober 2014   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rame-rame menyoal verifikasi totol biru dan totol hijau di akun Kompasioner, saya terpaksa menahan diri untuk menjadi penanggap terakhir.

Masalahnya, pada hari Admin Kompasiana mengumumkan soal totol-totolan itu, akun saya mendadak biru.Jadi, kalau langsung nanggapi, takut dikomentari “Mentang-mentang biru, euy.” (Padahal, “Emang gitu, sih.”)

Untungnya menjadi yang terakhir, bisa baca tulisan pendahulu, sehingga kita “bisa berdiri di pundaknya untuk melihat lebih jauh.” (Nah, ini sebenarnya filosofi peneliti, teman-teman Kompasioner.Tidak berlaku untuk kasus makan prasmanan).

Sepanjang yang saya ikuti, sekurangnya ada dua pandangan penting soal totol biru dan hijau ini.

Pandangan pertama, totol biru dan hijau adalah sistem kasta.Putih (tanpa totol) kasta rendah, hijau kasta tengah, dan biru kasta atas.Atau darah biru alias ningrat.

Coba kita kaji secara sedikit kritis.Kasta itu, kan sesuatu yang terbawa lahir.Sudra adalah anak Sudra.Waisya adalah anak Waisya. Ksatria adalah anak Ksatria. Brahmana adalah anak Brahmana.

Sedangkan totol-totolan itu?Sepertinya, lebih sebagai apresiasi atas capaian.Putih, blong, waktu Kompasioner baru terdaftar. Kalau mau susah payah sedikit, sering dengan bonus kesel, memenuhi syarat administratif, nah, diganjar totol hijau.Totol biru? Ya, menurut Admin Kompasiana, itu kalau konten kita dinilai “berkualitas” dan “spesifik”.Apa ukuran “berkualitas” dan “spesifik” itu, tampaknya menjadi “rahasia perusahaan” Admin.

Jadi, sistem pentotolan ini tampaknya lebih cocok disebut sebagai gradasi pencapaian Kompasioner.Bukan kasta.Itu, kurang lebih seperti akreditasi sekolah swasta: Terdaftar, Diakui, Disamakan.

Pandangan kedua, totol biru dan hijau adalah pembedaan spesialis dan generalis.Jadi, seperti didunia kedokteran, dokter umum dulu, baru dokter spesialis.Lalu disimpulkan: spesialis lebih tinggi tingkatannya dibanding generalis.

Diterapkan ke sistem pentotolan Kompasiana, maka totol biru dianggap spesialis sedangkan totol hijau generalis. (Kalau tanpa totol, seperti dalam karate, mungkin dianggap “sabuk putih”, pemula?).

Seorang Kompasioner lalu menulis, peluang Kompasioner spesialis tema tertentu akan lebih berpeluang mendapat totol biru ketimbang Kompasioner generalis, yang menulis isu apa saja yang dia suka atau sedang hangat.Dengan begitu, Kompasioner yang fokus menulis kabar Australia, Jepang, dan Jerman, atau yang fokus menulis puisi, sepakbola, radio/film/televisi, otomotif, dan lain-lain pasti lebih berpeluang dapat totol biru.

Apakah benar begitu?Dalam kasus saya, dapat totol biru, apakah saya seorang spesialis? Sepertinya, bukan!Coba kita lihat fakta ini.Sejak bergabung menjadi Kompasioner pada bulan Mei 2014, artinya sudah 6 bulan, saya menulis 56 artikel (tidak termasuk yang sedang Anda baca), atau rerata 9 artikel per bulan, gak banyak-banyak amatlah.Dan, ternyata, saya menulis aneka topik:humor (15), politik (13), birokrasi (8), sosbud (4), puisi (3), keuangan (2), berita regional (2), hukum (2), manajemen (1), agribisnis (1), edukasi (1), otomotif (1), hankam (1), dan sosok (1).Jadi, apakah saya spesialis?Kelihatannya, saya generalis, tapi cenderung spesialis humor dan politik. Atau mungkin cenderung spesialis politik kalau dihitung segugusan (politik, birokrasi, hukum, hankam), total 24 artikel.

Kalau melihat fakta persebaran jenis artikel itu, menurut saya sendiri, saya itu gak spesialis spesialis bangetlah.Selain nulis politik dan humor (itu karena keduanya sama lucu, atau politik lebih lucu?), saya juga nulis hal-hal lain yang gue demen.Yang penting, prinsipnya, logis, etis, dan estetis.Gak ngawur, gak nyakitin, dan gak bikin eneg. (Nah, yang terakhir ini saya gagal, karena nekad nulis 3 puisi yang gak ada bagus-bagusnya, gara-gara terinspirasi Kompasioner Tasc Taufan.Tobat!  Gue gak bakal nulis pusi lagi!).

Kesimpulannya, saya kira, mau spesialis mau generalis, bisa saja terkena totol biru dari Admin.Ukurannya, ya itu tadi, “kualitas” dan “spesifisitas”, silahkan rekan-rekan Kompasioner reka-reka sendirilah apa parameternya itu. Oh ya, soal spesifitas, secara khusus mestinya tak sebatas tema atau topik, tapi juga soal kerangka pikir tulisan, atau kerennya framework, gitu.Misalnya, ada spesifik berfikir sosiologis, psikologis, antropologis, teknologis, biologis, atau apa sajalah.

Terakhir, apakah setelah ditotol biru lantas menjadi merasa lebih hebat dari totol hijau atau blong putih?Tidak juga.Setiap hari saya masih suka iri membaca artikel teman-teman Kompasioner bertotol hijau atau “totol putih” (makanya, gak keliatan).

Yang pasti, secara pribadi, saya merasa kemampuan saya menulis sekarang menjadi lebih baik dibanding pertama kali bergabung dengan Kompasiana.Dan itu jelas bukan karena totol biru.Tapi karena proses belajar selama enam bulan.Termasuk belajar dari membaca tulisan rekan-rekan Kompasioner.Makanya, saya pernah usul, agar motto Kompasiana di re-branding menjadi “Sharing-Connecting-Learning”.

Ayo, kita terus belajar bersama di “Perguruan Kompasiana”.Si Totol Biru pasti datang!(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun