Responden menjamu peneliti? Wajar-wajar saja. Tapi kalau tiap kali peneliti berkunjung ke rumah responden selalu ada hewan piaraan yang “hilang nyawa” demi jamuan, apakah bisa disebut wajar?
“Ini udah gak bener,” bathin Pak Frans, yang sedang meneliti masalah kemiskinan di desa Fausambi, Ende, Flores. Ia mulai risau.Bukannya karena tidak senang dengan jamuan makan besar, lengkap dengan lauk daging, di rumah responden ataupun informan. Tapi, statusnya sebagai peneliti masalah kemiskinan dipedesaan Flores itu yang membuat dia konflik bathin.
“Kalau begini terus, berarti saya sebagai peneliti telah mempermiskin penduduk miskin desa ini,” bathinnya mulai resah."Bisa-bisa, penelitian nanti dicap sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan."
Begitulah. Suatu hari, Pak Frans dan temannya Pak Piet serta Pak Ben, Kades Fausambi berangkat ke Desa Keliwatu (samaran), tetangga Desa Fausambi, yang terletak di perbukitan pantai selatan.Menurut sejarahnya, tanah Desa Keliwatu ini dulunya adalah pemberian dari Mosalaki(Ketua Masyarakat Adat) Fausambi, sehingga penduduknya selalu menaruh hormat kepada masyarakat Fausambi.
Berangkat pukul 15.30 WITengah dari Fausambi, naik-turun bukit, melintas kiri-kanan bibir jurang menganga, keluar masuk hutan-hutan kecil, kaki memuai, akhirnya rombongan Pak Frans tiba di Keliwatu pukul 17.30.
Mereka langsung disambut dengan penuh hormat di rumah adat oleh Pak Sayid (samaran), Mosalaki Desa Keliwatu, beserta jajaran tetua adat desa. Oh, ya, soal nama “Sayid” itu, memang mayoritas penduduk desa ini Muslim.
Nah, singkat cerita, saat diskusi antara Pak Frans, Pak Piet, Pak Ben dan Mosalaki Sayid serta jajarannya mulai berlangsung, tiba-tiba, “Mbheeeeekkk,” terdengar embikan keras seekor kambing yang siap-siap “ganti nama” menjadi “gulai kambing” di kolong rumah adat.
Langsung, Pak Frans mulai resah, konflik bathin, karena sekali lagi dia pikir dia telah mempermiskin warga miskin yang menjadi responden atau informannya.“Tak bisa dibiarkan ini,” bathinnya.
“Pak Piet,” bisik Pak Frans tepat ke telinga kanan Pak Piet, “tolong bilang pada Pak Mosalaki, tak usahlah potong kambing. Saya tidak mau kehadiran kita justru mempermiskin warga, karena harus mengorbankan ternaknya untuk menjamu kita. Cukup nasiatau jagung sama ikan asinlah.”
Nah, masalahnya telinga kanan Pak Mosalaki Sayid ada persis disamping telinga kiri Pak Piet.Dan bisikan Pak Frans rupanya masuk telinga kanan Pak Piet, keluar dari telinga kirinya, lantas masuk ke telinga kanan Pak Mosalaki.
“Oh, tidak apa-apa Pak Frans,” tiba-tiba saja Mosalaki Sayid menyahut sambil tersenyum bijak.“Kami justru sangat bersyukur dengan kedatangan Bapak, karena dengan begitu kami punya alasan untuk potong itu kambing.Kami sudah hampir setahun tidak makan daging kambing, sejak Lebaran tahun lalu.”
Lanjutnya, “Untunglah Bapak bertiga datang. Jadi selamatlah lidah kami,” Pak Mosalaki sedikit bergurau.
Oooiii, Mamaaak!Merah malu rona muka Pak Frans, terlihat jelas di bawah terpaan sinar petromaks.
(Selepas acara itu pukul 24.15 WITengah, dalam perjalanan menyusur jurang ke Watuneso, kota kecamatan, Pak Piet menjelaskan bahwa orang Ende Lio memang tidak boleh menyembelih ternak, kecuali ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara adat, misalnya menjamu tamu adat, suatu kesempatan yang sangat ditungu-tunggu.)(*)
#Moral revolusi mental-nya: “Adat itu untuk kepentingan bersama, jadi jangan dinilai dari sisi kepentingan sendiri.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H