Marah! Aku benar-benar marah! Padahal ini Jumat pagi. Harusnya ceria. Besok kan Sabtu? Hari libur!
Tapi ulah laki-laki gempal, berwajah polesan salon dan bergaya rambut CR7, yang aku saksikan pagi ini di trotoar Jalan Wijaya, Jakarta Selatan itu benar-benar membuatku marah. Laki-laki itu sedang mengarahkan laras senapan anginnya, membidik ke arah pucuk pohon mahoni di pinggir jalan. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki lain, mungkin bujangnya, menunjuk ke atas layaknya memberi tahu posisi sasaran.
Di pucuk mahoni itu pasti sedang bertengger seekor burung. Mungkin seekor cucakrowo, atau perkutut, atau poksay, atau betet, atau kutilang. Mungkin burung itu sedang berkicau, menyapa selamat pagi pada temannya atau mungkin pacarnya. Tanpa pernah sadar, bahwa sebentar lagi mungkin ia tak akan mendengar kicau balasan dari temannya atau pacarnya itu. Karena keburu menggelepar di tanah dengan sebutir timah kecil di dalam kepalanya.
Aku marah membayangkan tragedi seperti itu terjadi. Lalu mengutuki si lelaki gempal bersenapan angin itu sebagai seorang Darwinis picisan.  Yang mengagungkan hukum "Si Kuat menang Si Lemah kalah." Mungkin laki-laki bergaya rambut CR7 itu tertawa puas, menepuk dada menang, saat si burung kecil lemah menggelepar meregang nyawa di depan lidah kakinya. Menang? Tidak, laki-laki itu tak lebih dari pecundang picisan.
Tak bisakah laki-laki berwajah polesan salon, dengan ekspresi orang kaya, itu membiarkan burung-burung menghiasi alam Jakarta yang semakin kelabu? Tak bisakah ia membiarkan kicauan burung-burung memberikan keceriaan di tengah deruman mesin ribuan motor, mobil, bus, dan truk yang merusak kesegaran pagi?
Aku yakin laki-laki itu tidak tahu, atau tepatnya mungkin tidak peduli, bahwa populasi burung di Jakarta sangatlah kecil. Tidak pernah sadar bahwa burung adalah karunia besar untuk Jakarta. Tak pernah bersyukur masih beroleh kesempatan mendengarsedikit kicauan burung di pagi hari.  Tak pernah membayangkan bahwa kehidupan tanpa kicauan merdu dan keindahan warna-warni burung adalah kehidupan yang sakit. Dan memang, manusia Jakarta seperti laki-laki itu mungkin telah sakit, sehingga bisa bersukaria membunuh sumber-sumber kegembiraan hidup.
Mendadak aku teringat, bagi burung-burung Jakarta yang berlaku memang masih "Hukum Rimba". Tak ada perlindungan untuk burung. Tak ada larangan membunuh burung, kecuali mungkin di area-area tertentu seperti di hutan Monas, Senayan, Ragunan, dan Taman Mini. Aku lantas berharap Gubernur Ahok mendadak peduli burung-burung Jakarta, dan lusa menerbitkan sebuah peraturan daerah yang melindungi kehidupan mahluk-mahluk indah itu.
Aku masih marah! Padahal laki-laki itu sudah jauh aku tinggalkan di belakang sana. Aku juga tidak tahu apakah burung yang dibidiknya itu benar-benar jatuh menggelepar meregang nyawa di depan kakinya, atau sebaliknya lolos terbang menyelamatkan diri.  Tapi apapun akhir cerita penbembakan burung itu, aku tetap marah karena ulah laki-laki gempal yang tak berperikehewanan itu.
Untuk pertama kalinya tiba-tiba aku ingin seperti Raja Sulaiman, atau Santo Fransikus Asisi, yang mengerti bahasa burung dan dapat bercakap-cakap dengan mereka. Aku ingin berseru kepada seluruh burung Jakarta: "Wahai burung-burung Jakarta, bersatulah. Terbanglah kalian semua di atas kepala laki-laki bersenapan angin dengan gaya rambut CR7 itu. Lalu serentak beraklah di atas kepalanya. Itulah upah setimpal bagi laki-laki pecundang picisan itu!"
Membayangkan hal itu benar-benar terjadi, hatiku agak terhibur sedikit. Tapi masih marah!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H