Jangan menggunakan perumpamaan secara sembarang. Â Lihat-lihat dulu konteksnya. Salah konteks, fatal akibatnya.
Sekurangnya begitulah pelajaran dari pengalaman tragis Ojak (samaran), pemuda Porsea Toba, 15 tahun lalu. Waktu itu ia menyatakan niatnya kepada Amani Poltak, ayah  Poltak, untuk melamar Rotua, adik perempuan Poltak, menjadi isterinya.
"Ojak, kau kan pengangguran. Â Jadi, kalau kau melamar anakku si Rotua ini menjadi isterimu, mau kau kasih makan apa dia nanti?" Amani Poltak menginterogasi Ojak. Â Memang benar, Ojak itu penganggur kronis.
"Bah, Tulang. Â Jangan khawatir," tanggap Ojak mencoba meyakinkan Amani Poltak yang disebutnya "tulang" (Ind. paman). "Coba Tulang lihat burung-burung pipit yang terbang di langit. Â Mereka saja bisa menuai padi dari sawah yang tidak ditaburnya, apalagi aku yang manusia ini!" lanjutnya dengan kepercayaan diri tinggi.
"Bah, burung pipit katamu!" Amani Poltak mendadak sontak membentak Ojak sambil bangkit berdiri berkacak pinggang. Ia marah besar. Â Mendadak ribuan burung pipit pencuri padinya di sawah beterbangan di dalam kepalanya.
"Ojaaak! Berarti kau juga akan mencuri padiku di sawah untuk memberi makan anakku!" Amani Poltak meradang. Ojak mengkeret di kursi. Rotua mulai menangis.
"Tidak bisa! Lamaranmu kutolak! Titik!" Amani Poltak menolak telak lamaran Ojak, tanpa kemungkinan remedial. Ojak langsung lunglai ibarat balon kempes di kursi. Â Rotua meraung sedih dan kecewa. Bukan karena gagal menikah, tapi karena Ojak kekasihnya ternyata tak lebih dari "seekor burung pipit". Â Alamaaaak!(*)
#Moral revolusi mental-nya: "Harapan di masa depan harus didasarkan pada kenyataan, bukan pada perumpamaan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H