Blind date, kencan buta, itu ibarat melempar dadu, bisa dapat si mata satu, dua, tiga, empat, lima, atau enam.Maksudnya, pada skala nilai 1-6, pekencan buta bisa mendapati bakal calon pacarnya ternyata tidak sesuai harapan (nilai 1) atau melebihi harapan (nilai 6).
Begitulah pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman kencan buta Pak Frans25 tahun lalu.Waktu itu ia sedang menuntut ilmu di Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga.Frans dengan empat orang teman sesama mahasiswa mengontrak sebuah rumah desa sederhana di Blotongan, tidak jauh dari Terminal Blotongan, Salatiga.Untuk mengurus kebersihan rumah sehari-hari, sekaligus mencuci pakaian, mereka mengupah seorang perempuan warga desa setempat.Kalau untuk urusan makan, ya, sendiri-sendiri.
Nah, untuk urusan jajan malam hari, di Terminal Blotongan kebetulan ada seorang pedagang angkringan wedhang ronde yang sohor seantero Blotongan, namanya Mas Slamet.Mangkalnya memang malam hari, saat arus keluar-masuk kendaraan dari/ke terminal sudah berhenti.
Frans dan teman-temannya suka nongkrong di angkringan wedhang ronde Mas Slamet.Dingin-dingin disusupi yang anget-anget, walah nikmate. Maksudnya hangatnya wedhang ronde mengusir udara dingin Salatiga di malam hari.
Uniknya, Mas Slamet si tukang wedhang ronde itu menyediakan buku kenangan bagi para pelanggannya.Di dalam buku itu setiap pelanggan bisa menuliskan apa saja kesan dan pesannya.Termasuk Frans dan teman-temannya.
Nah, dari buku kenangan inilah kisah blind date bergulir.Kebetulan, mata Frans yang jomblo tingting tertumbuk pada satu nama di buku kenangan itu:Tara.“Wah, dari namanya, pasti cantik nih anak wedhok,” bathin Frans mulai naksir (baru baca nama saja, sudah naksir).
“Mas Slamet, ini wong wedhok yang namanya Tara masih prawan, ya.Ayu, ora? Frans mulai menyelidik.
“Prawan tingting, Mas.Ayune, wah, ojo takon,” Mas Slamet promosi, membuat Frans semakin kepincut.
Nah, Frans mulai menjalankan jurus komunikasi tulis lewat buku kenangan Mas Slamet.Di buku kenangan ia menulis:
“Mbak Tara, aku Franky, boleh kenalan, gak?Salam kenal, ya.”Tak lupa, kepada Mas Slamet dipesankan untuk memberitahu Tara kalau ada pesan Franky (alias Frans) untuknya, kalau nanti mampir ke angkringan wedhang ronde itu.
Demikianlah awal prosesnya,dan ternyata gayung bersambut gayung pula dan setelah dua minggu berlalu beginilah rekaman komunikasi tulis antara Franky (Frans) dan Tara di buku kenangan itu:
Franky (7/3/1989):“Mbak Tara, aku Franky, boleh kenalan, gak?Salam kenal, ya.”
Tara (9/3/1989): “Mas Franky, monggo, Mas.Aku Tara, senang kenal Mas Franky.Salam kenal juga.”
Franky (10/3/1989): “Mbak Tara, senang kenalan dengan Mbak Tara sing ayu.Tinggal di Blotongan juga ya, Mbak?”
Tara (13/3/1989): “Mas Franky, aku ya podo, Mas. Aku ya seneng kenalan sama Mas Franky yang cakep. Inggih, Mas, aku tinggal di Blotongan pinggiran.”
Franky (15/3/1989):“Mbak Tara, ketemuan yuk?Udah gak sabar liat wajah Mbak Tara sing ayu, tenan.”
Tara (18/3/1989): “Mas Franky, boleh, Mas.Kapan, di mana, dan piye carane, Mas.”
Franky (19/3/1989):“Mbak Tara, gimana kalo tanggal 22/3 pukul 9 malam.Tempatnya di wedhang ronde Mas Slamet aja.Mbak Tara pake baju merah, aku ya klambi merah juga. Salam manis”
Tara (20/3/1989): “Mas Franky yang cakep, ya wis.Tanggal 22/3.Sama-sama baju merah ya, Mas.Salam manis juga.”
Franky (21/3/1989): “Mbak Tara, sampai besok ya.Gak sabar aku nunggu besok.Salam manis sekali.”
Begitulah, pada tanggal 22 Maret 1989 pukul 8.45 malam, Frans lengkap dengan dress code baju merahnya, ditemani karib sekamarnya Sujati, melangkah dengan hati berbunga-bunga ke Terminal Blotongan.Malam ini ia akan bersua dengan Tara pujaan hati.Siapa yang lebih beruntung darinya? Siulan dendang “Jatuh Cinta”-nya Eddy Silitonga terlantun dari monyong bibirnya.
Tapi, lima puluh meter menjelang angkringan wedhang ronde Mas Slamet, langkah Frans mendadak terhenti. Dendang siulnya mendadak terputus.Jantungnya serasa mau copot.Matanya melotot kaget.Tak percaya pada penglihatannya.
“Balik kanan! Pulang! Sekarang juga!” Frans menarik tangan Sujati dan langsung bergegas kembali ke rumah kontrakan.
“Ada apa, Frans.Kau lihat hantu apa?” Sujati berusaha mencari tahu apa yang terjadi.Tapi Frans diam seribu bahasa.
Tiba di rumah kontrakan, Frans langsung menghempaskan diri lemas di tempat tidurnya.Ia berusaha meralat penglihatannya tadi, tapi tak bisa.“Tak salah lagi,” bathinnya terhempas merana. “Perempuan berbaju merah di angkringan wedhang ronde Mas Slamet tadi itu Mbak Tarmi, perawan kadaluarsa pembantu di rumah kontrakan ini. Tarmi kok ya iso jadi Tara, ketipu kowe le.”Ditingkahi lantunan irama dangdut “Sakit Gigi”-nya Meggi Z dari radio tetangga, Frans menyesali blind date wedhang ronde-nya sepanjang malam.(*)
#Moral revolusi mental-nya: “Tidak selamanya benar bahwa seseorang adalah apa yang ia tulis, karena tulisan tak pernah mampu merepresentasikan seseorang seutuhnya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H