Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Ini Budi ..." (atau "Pelajaran Membaca")

14 Januari 2015   16:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:10 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Frans, tokoh peneliti sosial dalam serial “Humor Revolusi Mental” Kompasiana, risau parah membaca headline Kompas pagi ini (14/01/2015).Berita besar yang bikin miris:KPK menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, calon tunggal Kepala Kepolisian Negara RI, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan gratifikasi.

Pak Frans risau berat karena dia, dan seluruh pantarannya yang melewatkan masa kanak-kanak tahun 1970-an, sangat tahu bahwa Budi adalah anak yang baik budi. Hal itu diketahui Pak Frans dan anak-anak se-Indonesia ketika dulu mereka belajar membaca. Teks bacaannya sebagai berikut:

“Ini Budi.

Budi anak baik.

Budi pergi ke sekolah.

Budi rajin belajar.

Cita-cita Budi menjadi polisi.

Budi ingin jadi gunawan.”

Teks itu sangat melekat dalam ingatan Pak Frans dan pantarannya se-Indonesia.Memang, siapapun yang membacanya, pasti sepakat Budi adalah anak yang baik-budi.

Keriasauan Pak Frans tambah parah karena membayangkan sebuah kemukinan teks bacaan untuk pelajaran membaca tahun 2020-an nanti.Pak Frans sungguh khawatir kalau-kalau nanti ada teks bacaan seperti ini:

“Ini Budi.

Budi seorang polisi.

Budiberpangkat Komisaris Jenderal Polisi.

Budi calon Kepala Kepolisian Negara RI.

Tapi Budi tersangka kasus korupsi.

Apakah Budi seorang gunawan?”

Tempus fugit, panta rhei kai ouden menei. Segalanya berubah seiring berlalunya waktu.Seperti bunyi pantun yang bisa terjadi pada siapa saja:

“Jajan bubur, ngemil terasi

Kecil jujur, besar korupsi”

Tapi, tunggu dulu.Pantun itu bisa diedit menjadi pantun nasihat sebagai berikut:

“Jajan bubur, ngemil ubur-ubur.

“Kecil jujur, besar lebih jujur.”

Tinggal sekarang, bagaimana agar bisa “Kecil jujur, besar lebih jujur”.Nah, untuk itu Pak Frans selalu berpegang pada nasihat dari kakeknya agar selalu menakar niat sebelum bertindak.

“Cucuku, kau tahu arti peribahasa ini?”Tanya kakeknya dulu pada Frans kecil, sambil menunjuk pada tulisan di sampul belakang buku tulisnya.Tertulis di situ: “Don’t wait until tomorrow what you can do today.”

“Tidak, Kakek,” jawab Frans kecil dengan sinar mata ingin tahu.

“Ini Bahasa Belanda,” lanjut Sang Kakek, “artinya dalam Bahasa Melayu, pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tiada guna.Kau harus camkan itu dalam hatimu, cucuku.”

“Baik, Kakek,” janji Frans kecil pada kakeknya.Dan sejak hari itu, sampai sekarang, Pak Frans teguh menjalankan nasihat Sang Kakek.Terbukti, Frans tidak (dan jangan sampai) pernah berurusan dengan KPK.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun