Tapi, saya ingin tekankan di sini, baik penafsir PTO maupun HTO perlu untuk memperhatikan aspek motif sosial dalam sebuah tindakan sosial, yang hanya bisa dijelaskan subyek yang bertindak itu secara subyektif. Maka terkait semua tindakan Jokowi yang teramati di ruang publik (“public transcript’), harus dicari penjelasannya pada motif sosial subyektif yang hanya diketahui Jokowi seorang, setidaknya untuk saat ini. Dengan demikian, sambil tetap berbesar hati, harus saya katakan bahwa para penafsir Jokowi sangat mungkin harus menafsir ulang nanti, begitu Jokowi melakukan “tindakan final” (keputusan politik final) terkait kisruh KPK versus Polri ini.
Tidak hanya penafsir PTO, tapi juga penafsir HTO sangat mungkin harus melakukan tafsir-ulang nantinya. Mengapa? Karena, kalau membaca karya-karya Scott, apa yang disebut sebagai “hidden transcript” itu sebenarnya adalah bentuk-bentuk perlawanan (resistensi) sosial terhadap kekuasaan yang lebih tinggi/besar yang bersifat represif.
Jika konsep itu dikenakan pada Jokowi, maka timbul dua pertanyaan yang harus dijawab dulu secara tegas. Pertama, kekuasaan manakah yang lebih tinggi dan bersifat represif terhadap kekuasaan presiden (Jokowi)? (Apakah, misalnya, kekuasaan partai pengusung?).
Kedua, manakah dari berbagai tindakan sosial Jokowi yang dapat dikategorikan sebagai “hidden transcript”? Dalam analisis Scott tentang petani di Semenanjung Malaysia misalnya, sangat jelas bahwa tindakan “mencuri” gabah di sawah (yang mereka sebut sebagai “zakat yang diambil sendiri”) adalah bentuk empirik “hidden transcript”, bentuk perlawanan terhadap kesewenangan pemilik tanah.
Geertz: Thick Description
Intinya, “hidden transcript” Jokowi memerlukan studi yang lebih mendalam dari sekadar interpretasi yang sifatnya hipotetik atau asumtif. Memang ada penafsir yang mencoba merujuk pada filosofi atau nilai budaya Jawa untuk memahami tindakan Jokowi, tapi itu tidak cukup. Hanya jika sebuah “thick description” ala Clifford Geertz dilakukan terhadap tindakan sosial Jokowi, maka barulah bisa terbuka dengan cukup logis makna-makna “public and hidden transcripts” dari tindakan Jokowi itu.
Dengan "thick description" yang dimaksudkan adalah "menyatakan sesuatu yang tak teramati dari sesuatu yang teramati". Misalnya, mengambil contoh dari karya Geertz sendiri: melalui sabung ayam di Bali orang Bali sedang menyatakan ambisi-ambisinya, kekerasannya, kesadisannya, konflik-konfliknya, dan persaingan-persaingannya.
Dan saat memasuki “thick description” semacam itu, maka konteks politik nasional kini harus diperhitungkan sebagai ajangnya. Di sini, saya kira, para penafsir itu lalai menjelaskan konteks politik kita kini. Saya memahami konteks struktural politik nasional kita kini adalah struktur politik klientelisme yang cenderung involutif. Di dalamnyalah Jokowi bermain dan tafsir atas tindakan politisnya jelas akan sangat rumit.
Tapi, agar tidak memusingkan, saya tidak hendak masuk dulu pada penjelasan konteks struktural “politik klientelisme” itu. Sebab sampai pada titik ini saja, saya sendiri sudah cukup pusing dengan apa yang telah saya sampaikan di atas. Nanti kalau pusingnya sudah reda, saya akan kembali lagi.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H