Jokowi dulu, kini, dan nanti tetaplah menjadi pusat dari segala debat atau polemik politik nasional, di dunia nyata ataupun di dunia maya. Polemik kisruh KPK versus Polri yang terjadi sekarang juga begitu. Benang merah yang mengikat semua polemik itu, jika ditarik, tak pelak berujung pada sosok Jokowi selaku Presiden RI.
Hal itu berlaku untuk semua artikel terkait kisruh KPK versus Polri yang tertayang di Kompasiana. Sudut pandang boleh beda, aspek telaah boleh beda, genre tulis boleh beda, gaya bahasa boleh beda, tapi “sasaran tembak” tetap sama: Presiden Jokowi.
Dalam pembacaan saya, semua artikel itu sesungguhnya adalah tafsir penulis tentang Jokowi. Sebuah tafsir, bagaimanapun, pastilah sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengalaman subyektif dan pengetahuan obyektif sang penafsir. Variasinya pastilah sangat luas antara satu dan lain penafsir sehingga secara sepintas, terbaca tafsir-tafsir Jokowi yang sungguh variatif.
Saya tak hendak menilai benar atau tidaknya tafsir-tafsir tersebut, tapi tertarik untuk menafsir bagaimana para penafsir itu telah menafsir Jokowi sejauh ini, seturut artikel-artikel yang saya baca di Kompasiana.
Scott: Public and Hidden Transcripts
Saya perlu berterima kasih pada Kompasianer Nararya yang telah menerapkan “teori substantif” J. Scott, yakni tipe ideal (a’la Weberian) “public transcript” (makna yang terbaca pada perkataan dan/atau tindakan langsung) dan “hidden transcript” (makna terselubung), untuk menafsir tindakan sosial (politik) Jokowi.
Tipe ideal itu tidak saja relevan untuk keperluan menafsir tindakan sosial Jokowi, tapi juga untuk keperluan kategorisasi penafsir berikut artikel-artikel mereka. Secara garis besar para penafsir itu ternyata bisa digolongkan ke dalam dua tipe tersebut: “public transcript oriented”(PTO) dan “hidden transcript oriented” (HTO).
Hasilnya, ketika diterapkan pada artikel-artikel itu sungguh menarik: penafsir PTO ternyata cenderung “kontra” pada tindakan Jokowi. Kesimpulannya: Jokowi tidak tegas, takut pada Ketua Partai, tidak pro-rakyat, tidak mendukung pemberantasan korupsi, dan lain-lain yang senada dengan itu.
Sedangkan penafsir HTO cenderung “pro” pada tindakan Jokowi. Kesimpulannya: Jokowi hanya bertindak hati-hati, menjaga wibawa semua pihak atau lembaga pemerintahan, tidak ingin membakar konflik lebih luas, tidak memihak, dan lain-lain yang sejenis.
Tentu ada saja penafsir yang sekaligus PTO dan HTO, misalnya Nararya. Tapi Nararya, kalau artikel-artikelnya dibaca cermat, cenderung tampil sebagai penafsir HTO.
Baik tafsir PTO maupun HTO semuanya sah-sah saja dan, bagi saya, dalam hakekatnya sebagai informasi semuanya punya nilai yang sama. Bagi saya, semua artikel tafsir itu adalah wujud perayaan kemerdekaan berpikir yang difasilitasi oleh Kompasiana, dan itu harus disyukuri. Semua Kompasianer bebas menulis tafsir, tanpa perlu harus takut salah. Lagi pula, Admin Pepih Nugraha sudah memberi jaminan “imunitas”, “Salah benarnya analisa, urusan belakangan.” (Ini jaminan yang saya tak bisa setujui terkait alasan aksiologis: untuk maksud apa menulis?).