Mohon tunggu...
Muhammad Taufiq BNP
Muhammad Taufiq BNP Mohon Tunggu... Freelancer - Learner

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Univ. Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pemilu Mahasiswa: Ajang Adu Golongan atau Gagasan?

5 Desember 2016   14:13 Diperbarui: 5 Desember 2016   15:54 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa, Siapa yang tidak kenal dengan salah satu bagian dari masyarakat ini? Mereka tercatat dalam sebuah momen sejarah 1998 dan mempunyai andil dalam lahirnya era reformasi setelah orde baru. Mereka yang mengklaim mampu menjadi pengawal dan kritik kepada pemerintah.  Serta mengklaim golongan yang akan menjadi penerus pemerintahan. Berbicara mengenai pemerintahan tentu pemerintahan itu sendiri ada dalam ruang lingkup mahasiswa. Pemerintahan dalam mahasiswa seringkali di ibaratkan juga sebagai miniature dari sebuah pemerintahan dalam lingkup negara. Yang berbeda adalah yang mengisi dan menjadi aktor dalam pemerintahan mahasiswa tersebut tentu mahasiswa itu sendiri. Sama halnya dengan pemerintahan negara, dalam membentuk pemerintahan mahasiswa, digunakan beberapa cara salaha satunya adalah dengan sistem demokrasi yang kemudian dijalankan melalui pemilu. Istilah pemilu mahasiswa atau yang di beberapa kampus disebut dengan istilah pemira (pemilihan mahasiswa raya) ataupun pemilwa (pemilihan wakil mahasiswa) adalah ajang serta panggung demokrasi dalam ruang lingkup mahasiswa. Sebagai salah satu cara untuk melanjutkan estafet pemerintahan serta mencari pemimpin baru tentu pemilu mahasiswa sama pentingnya dengan pemilu negara. Namun pertanyaannya bagaimanakah nuansa demokrasi dan politik pemerintahan ala mahasiswa ini?

Bulan November sampai dengan Desember (umumnya di beberapa kampus) menjadi bulan dengan  penuh “pencitraan” dan baliho manusia yang katanya menyuarakan gagasan serta idenya dalam rangka menjadikan kampus atau fakultas menjadi lebih baik. Tentu hal tersebut haruslah kita syukuri karena ternyata di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa masih ada diantara mereka yang ingin berlelah-lelah dan mengorbankan waktu serta pemikirannya dalam rangka menjadikan kampus atau fakultasnya lebih baik. Sekali lagi tentu ini adalah hal yang postif dan tidak salah. Namun, belakangan ini tidak jarang “kontes” acara pemilu mahasiswa ini sering di salah artikan. Yang semula bertujuan sebagai  ajang dan panggung bagi mereka yang ingin bertarung ide,gagasan, dan solusinya dikemudian hari menjadi panggung bagi adu pertarungan golongan. Sudah bukan rahasia umum lagi bagi mereka mahasiswa yang mengikuti organisasi ekstra kampus ataupun mereka yang terlibat dalam politik kampus mengenai adanya golongan-golongan di dalam mahasiswa. Ada yang mengistilahkan golongan dengan sebutan warna. Dari mulai “putih”, “hijau”, “merah”,”kuning” ataupun yang “tanpa warna” sekalipun. Ada juga yang mengistilahkan mereka dengan golongan “masjid”, golongan “kantin” dan istilah-istilah lainnya. Sebetulnya pemunculan istilah tersebut adalah bentuk menyamarkan golongan-golongan tersebut yang dikarenakan ada sebuah “tabu” apabila membicarakan nama-nama golongan tersebut secara langsung baik di tataran kampus secara umum ataupun fakultasnya.

Kehadiran golongan-golongan di dalam mahasiswa sebetulnya bukanlah sebuah hal yang salah. Justru bergabung dengan golongan-golongan atau berserikat dilindungi oleh undang-undang dalam negara kita. Bahkan hal tersebut dapat membuat pembelajaran demokrasi dan politik lebih massif dalam tingkatan mahasiswa. Dengan adanya golongan-golongan tersebut tentu semangat dan persaingan yang komptetitif akan lebih terasa. Ketimbang tidak adanya gairah politik dan berdemokrasi yang kemudian hari melahirkan aklamasi dalam sebuah pemilu mahasiswa. Yang terkadang menjadi persoalan sebetulnya adalah apakah pergerakan mahasiswa tersebut lebih mengedepankan gengsi serta eksistensi golongan? Atau lebih kepada pencarian gagasan guna menciptakan perbaikan ? . Beralih kepada perbedaan dalam golongan. Perbedaan adalah hal  yang wajar dalam kehidupan. Tergantung bagaimana kita menghadapinya. Apakah dengan cara dewasa dan bijaksana ataukah dengan antitoleran yang terkesan kekanak-kanakan. Perbedaan sebetulnya dapat menghasilkan persatuan. Buktinya tentu kita semua ingat dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka tunggal ika. Indonesia dengan bangsa yang beraneka ragam tetap mampu bersatu dalam sebuah negara bernama Indonesia. Darisanalah menjadi bukti bahwa siapapun dapat menyikapi perbedaan golongaan dan tidak terkecuali mereka yang bernama mahasiswa. Perbedaan yang akan ada dalam sebuah pemerintahan mahasiswa yang mungkin diawali dari pemilu mahasiswa.

Pemilu mahasiswa atau yang biasa dikenal dengan nama pemira biasanya dilakukan dalam rangka memilih presiden Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) (di beberapa kampus sekaligus dengan wakilnya) dan juga memilih anggota DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa). Tentu menjadi presiden bem serta anggota dpm bukanlah perkara mainan atau hanya sekedar  adu “tampang” ibaratkan konstes-kontes kecantikan. Pemilu mahasiswa ini adalah ajang penting sekaligus pembelajaran demokrasi serta politik bagi mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu dibutuhkan persiapan serta visi-misi yang dirancang dengan sungguh-sungguh dan tanpa main-main. Karena konsekuensinya adalah setelah terpilih di kemudian hari yang bersangkutan harus dapat merealisasikan janji-janji politiknya kepada masyarakat atau publik. Namun “kesakralan” pemilu mahasiswa ini terkadang terciderai dengan masuknya mereka yang ikut tanpa perencanaan yang matang atau terkesan main-main dan sebatas adu gensi serta eksistensi golongannya. Tentu yang demikian bukanlah yang kita semua harapkan. Apalagi apabila yang bersangkutan terpilih maka sudah dapat dipastikan janji-janji politiknya kepada masyarakat atau publik tidak akan pernah tereaslisasikan.

Pemerintahan mahasiswa ibaratkan miniatur dalam sebuah pemerintahan negara. Pemeritahan mahasiswa pun dapat dianggap sebagai ajang pembelajaran dan politik sebelum kepada ranah pemerintahan negara. Namun, apa jadinya jika pemerintahan mahasiswa  ini sudah terciderai dengan adanya mereka yang menjadikan pemerintahan mahasiswa ini sebagai ajang eksistensi golongannya. Terlebih dalam pemilunya yang lebih mengedapankan adu golongan daripada gagasan. Maka jika hari ini perilaku tersebut tidak kita ubah maka tidak heran jika sepuluh atau dua puluh tahu lagi kita mendengar dan menyaksikan pemerintahan negara yang amburadul dan penuh dengan poltik bagi jatah golongan. Karena ajang pembelajaran pemerintahan sudah diawali dengan praktek dan tujuan gengsi serta eksistensi golongannya masing-masing bukan kepada perbaikan negara untuk menjadi lebih baik. Jadi, jika anda hari ini adalah peserta pemilu mahasiswa, apakah anda sekedar beradu untuk golongan atau gagasan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun