Mohon tunggu...
Muh Tamim Hidayatullah
Muh Tamim Hidayatullah Mohon Tunggu... -

penjelajah di dunia maya, suka ngeblog dimana-mana, bapak dari 3 anak lucu... bergelut di dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cinta Di Kerupuk Terakhir Ibu

23 Juni 2014   17:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:35 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saya mulai merantau semasa di Madrasah Aliyah ada sebuah kebiasaan dari bapak dan ibu yaitu membawakan sesuatu dari rumah, selain uang saku. Tiap kali mau berangkat hampir selalu menyiapkan entah makanan atau barang lain semisal peralatan mandi. Seringkali saya agak malas karena agak repot harus membawa-bawa barang yang notabene beli di toko pun pasti banyak. Namun, meski kadang saya menolak, kebiasaan ini masih terus berlanjut meskipun saya sudah lulus sekolah, lulus kuliah, sudah bekerja. Kebiasaan ini berlanjut bahkan sampai saya berkeluarga dan malah lebih. Setiap kali pulang mudik atau ketika ibu-bapak berkunjung, selalu membawakan makanan atau yang lain-lain dengan lebih banyak, dari hasil panenan (beras, pepaya, cabe), gula, mie mentah, sampai rempeyek atau kerupuk.


Saya kemudian berpikir bahwa itu seperti bentuk kecintaan mereka dan saya akhirnya menerima dengan sukacita. Ketika bapak sudah tiada, kebiasaan ini pun masih berlanjut, persis seperti ketika masih ada bapak. Bagi saya, apa yang dibawakan itu seperti memiliki makna yang jauh lebih berharga daripada harga barangnya sendiri. Beras atau kerupuk itu mungkin dapat dibeli dengan mudah di warung sebelah, tapi cinta yang melingkupinya tak dijual dimanapun.

Pernah suatu ketika Affan tidak mau makan dan nasinya dibuang di lantai. Saya lalu memberikan pengertian tentang bagaimana nasi itu dimasak dari beras yang dibawa jauh oleh Mbah kakung- Mbah ti. Ditanam dengan susah payah dan dipanen untuk kemudian dibawakan dan dimasak dan kita tinggal memakan. Saya mengatakan itu dengan sepenuh hati dan benar-benar menghargai setiap bulir nasi itu adalah kecintaan. Affan yang memang cukup dekat dengan mbah-nya kemudian mau makan dan tak lagi membuang-buang nasi.


Namun sekarang semua mungkin tinggal kenangan. Bapak sudah tiada dan kini setahun kemudian ibu menyusulnya. Secara batin saya cukup terpukul. Ruang kosong yang ditinggalkan mereka tak akan mungkin tergantikan. Ruang itu mungkin mungkin selanjutnya hanya akan dapat diisi dengan doa-doa, dengan rasa syukur karena pernah dikaruniainya, dan dengan meneruskan dan menyebarkan cinta yang pernah ada itu kepada keluarga.


Sewaktu ibu meninggal, beberapa hari yang lalu, saya terhenyak karena pada hari meninggalnya itu sebenarnya beliau sudah bersiap untuk menengok kami. Bukan hanya berniat, ibu sudah menyiapkan dan menata banyak bawaan dari beras sampai satu kantong plastik besar kerupuk.

Sore hari usai pemakaman, hujan deras mengguyur bumi seolah mewakili kesedihan yang saya rasakan. Sore itu pula saya baru sempat makan setelah dari pagi belum sempat sarapan. Makan sore itu seperti sangat istimewa dimana merasakan banyak cinta di setiap bulir nasi dan tiap potong kerupuk, menghargai dan mensyukurinya dengan penuh karena esok hari sudah tak akan dapat ditemui lagi. Selamat jalan bu, terimakasih untuk semuanya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun