Melihat situasi politik yang ada di Indonesia khususnya komposisi eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR), ada baiknya kita menguji pengetahuan dan kemampuan kita mengenai memahami nuansa politik dan komposisi kekuatan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Tujuannya kali ini yaitu untuk menyadari apakah nuansa dan komposisi eksekutif dan legislatif yang ada sekarang ini adalah komposisi yang bermanfaat dan patut disyukuri atau barangkali suatu petaka atau bencana. Mengingat salah satu ciri demokrasi adalah "kekuasaan mayoritas", oleh karna itu demokrasi dapat membuat para minoritas dibawah tirani kaum mayoritas.
Pada awalnya, tujuan berdemokrasi adalah agar setiap masyarakat yang ada dinegri tersebut berpartisipasi dan mempunyai hak-2 yang sama dalam menentukan pemerintahannya, hukum, keamanan, ekonomi dan perangkat-perangkat penting lainnya dalam satu negara seperti tehnologi, pendidikan dll. Mengapa harus mempunyai hak yang sama dalam menentukan hal-hal tersebut?, adalah disebabkan hukum, keamanan, ekonomi, tehnologi, pendidikan, sumber-sumber alam dan lain lain itu berdampak langsung dan tidak langsung kepada setiap individu yang ada di negara tersebut. Begitu juga hukum, keamanan, ekonomi, tehnologi, pendidikan, sumber-sumber alam itu adalah milik dan komponen negara yang harus digunakan untuk kesejateraan bersama namun dapat juga disalah gunakan untuk kepentingan individu dan atau segolongan tertentu.
Setelah melewati masa pesta demokrasi kemarin, ternyata posisi legislatif dan eksekutif yang menang atau yang berkuasa tidak berasal dari satu kekuatan politik. Terlepas dari arah dan tujuan politik dari kedua "kubu" yang masing-masing menguasai legislatif atau eksekutif tersebut, masyarakat sebaiknya mengetahui manfaat apa bagi rakyat dan negara dengan adanya "dua" kekuatan politik yang berbeda tersebut yang sedang menguasai posisinya masing-masing di legislatif atau eksekutif.
Setelah mengetahui, maka rakyat mampu menghindarkan diri dari "pancingan" dan atau di peralat oleh kekuatan politik tertentu untuk mencapai kepentingan-kepentingan individual atau segolongan tertentu yang merugikan. Tujuan lainnya yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa rakyatlah yang berperan dalam menentukan pemerintahannya tanpa dibenturkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa diposisi mereka yang dapat mengarah kepada tindakan-tindakan anarkis.
Untuk memastikan apakah situasi politik tidak sehat, dibawah ini beberapa contoh kecurangan yang sering terjadi didalam berdemokrasi:
Membeli suara dengan cara memberi uang, barang-2/jasa-2 tertentu, atau menawarkan liburan kepada para pemilih.
Lebih banyak kampanye negatif/hitam dibandingkan dengan memberikan ide, visi dan misi.
Menyalahgunakan perangkat-perangkat keras/lunak pemilu untuk kepentingan golongan tertentu.
Aparat-aparat pemerintah dan atau petugas pemilu yang tidak jujur untuk kepentingan golongan tertentu.
Terjadinya kekerasan/pengrusakan/pemaksaan oleh golongan tertentu untuk kepentingan mereka.
Adanya isu-isu yang mengancam dan atau menakut nakuti para pemilih.
Menggunakan unsur SARA dalam berpolitik.
Apabila dalam satu pesta demokrasi terjadi salah satu atau bahkan semua contoh kecurangan seperti yang disebut diatas, maka secara natural akan terjadi dendam politik bagi yang kalah. Dendam politik tidak bermanfaat dan sangat merugikan karena hanya sekedar mematahkan, menjatuhkan produk politik dari lawan politiknya tanpa melihat manfaat produk politik tersebut bagi masyarakat luas yang membutuhkannya. Dendam politik ini semakin merugikan rakyat dan negara apabila kedua kekuatan politik itu tidak mendapat titik temu untuk menggolkan produk-produk politiknya yang diperlukan rakyat dan Negara. Apalagi mereka tetap menguasai masing masing posisinya di eksekutif atau legislative dan terus saling salah menyalahkan.
Namun walaupun ada dendam politik, apakah itu sama sekali tidak bermanfaat?. Terlepas dari dampak negatif yang disebutkan sebelumnya, bila kekuatan kekuatan politik itu mampu menyelesaikan dendam politik tersebut secara dewasa, maka negara tersebut mewariskan perjuangan politik yang sangat berharga ke generasi berikutnya. Lalu, katakanlah bila tidak ada dendam politik, kedua kekuatan politik itu setuju saja dalam segala hal. Situasi inipun tidak baik, biasanya akan terjadi persengkongkolan untuk berkorupsi. Lagi lagi rakyat yang dirugikan dan negara bisa bangkrut.
Yang lebih sulit diselesaikan dari dendam politik adalah tidak adanya kepercayaan, saling curiga satu sama lain antar kekuatan-kekuatan politik tersebut. Biasanya ini akan terus berlarut larut, meluas dan berbuntut panjang karena tidak adanya kerja sama antar kekuatan politik itu untuk melaksanakan amanah rakyat.
Lalu komposisi politik yang bagaimana sebenarnya yang ideal didalam satu negara agar politik yang Kondusif dan damai itu tercapai?.
Perlu diketahui masyarakat, Kondusif maksudnya adalah hasil akhir dari situasi politik itu cendrung mengarah ke hal yang produktif. Misalnya, undang undang, kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang dibuat dan atau diputuskan oleh kekuatan politik tersebut -eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR)- menguntungkan rakyat/negara di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan dan tehnologi dan lain lain sebagainya.
Perlu juga diketahui masyarakat bahwa kondisi damai itu adalah salah satu produk akhir atau hasil akhir setelah adanya pertikaian sebelumnya dari kekuatan politik tersebut -ketidak cocokan di eksekutif (Pemerintah) dan atau ketidak cocokan di legislatif (MPR dan DPR)- dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Kesepakatan merekalah yang menjadikan kondisi politik yang damai.
Juga, perlu diketahui bahwa dari segi kekuasaan, masyarakat sebaiknya mengerti ada empat kemungkinan komposisi kekuatan politik yang bisa terjadi di dalam satu negara berdemokrasi, dibawah ini asumsinya judikatif dianggap netral: