pemimpin, baik di tingkat daerah seperti bupati dan gubernur, maupun di tingkat nasional. Tidak hanya Indonesia, banyak negara demokratis lainnya seperti Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan berbagai negara di Asia juga menggunakan pemilu sebagai sarana untuk menentukan pemimpin yang akan memegang kekuasaan.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Di Indonesia, pemilu menjadi mekanisme utama untuk menentukan paraDi Indonesia, pelaksanaan pemilu diatur secara ketat oleh peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setiap aspek dari proses pemilu, mulai dari teknis kampanye hingga etika politik, telah ditentukan dengan jelas. Salah satu aspek yang kerap menjadi sorotan adalah penggunaan Alat Peraga Kampanye (APK). Banyak ditemukan APK yang ditempelkan di pohon, yang jelas melanggar peraturan. Menurut undang-undang, penempatan APK harus mematuhi aturan yang ditetapkan KPU dan tidak boleh merusak lingkungan. Jadi, penempelan APK di pohon jelas tidak diperbolehkan.
Kampanye dan Sikap Apatis dalam Pemilu
Kampanye merupakan salah satu fase penting dalam proses pemilu. Setiap kandidat diberi kesempatan untuk memperkenalkan visi, misi, serta program-program yang akan dijalankannya jika terpilih. Kampanye di Indonesia dapat dilakukan secara terbuka dan diatur oleh jadwal yang sudah ditentukan. Namun, tantangan besar dalam pemilu adalah bagaimana meyakinkan masyarakat untuk berpartisipasi. Fenomena apatisme, atau sikap tidak peduli terhadap pemilu, sering kali muncul. Beberapa orang merasa bahwa janji-janji calon hanya sekadar formalitas belaka dan tidak ada perubahan nyata yang akan terjadi setelah pemilu. Akibatnya, sebagian masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka, atau yang dikenal sebagai golput.
Dalam pandangan Islam, fenomena golput ini juga menjadi perdebatan tersendiri. Beberapa ulama berpendapat bahwa memilih pemimpin yang adil adalah bagian dari tanggung jawab umat. Jika tidak ada calon yang benar-benar ideal, maka prinsip fiqih yang mengatakan "mengambil mudarat yang lebih ringan" (akhaf al-dhararain) dapat diterapkan. Artinya, ketika semua pilihan dirasa tidak ideal, kita tetap harus memilih yang lebih kecil keburukannya. Hal ini menghindarkan dari mudarat yang lebih besar apabila golput menjadi pilihan. Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa pemimpin yang zalim namun adil lebih baik daripada pemimpin yang tidak zalim tapi tidak adil, karena keadilan adalah dasar penting dalam Islam.
Pemimpin Sebagai Cerminan Rakyatnya
Dalam masyarakat sering muncul pandangan bahwa "pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya". Maksud dari pernyataan ini adalah, kualitas pemimpin yang muncul dari suatu bangsa tergantung pada kualitas moral dan spiritual masyarakatnya. Jika masyarakatnya beriman dan bertakwa, maka besar kemungkinan akan muncul pemimpin yang adil dan beriman. Sebaliknya, jika masyarakatnya abai terhadap nilai-nilai agama dan etika, maka pemimpin yang muncul pun bisa jadi cerminan dari keadaan tersebut. Oleh karena itu, perbaikan suatu bangsa tidak hanya bisa dilakukan melalui pemimpin, tetapi harus dimulai dari perbaikan individu-individu di dalam masyarakat itu sendiri. Jika setiap individu memperbaiki dirinya, maka dampaknya akan terlihat dalam kualitas pemimpin yang terpilih.
Memilih Pemimpin yang Tidak Ideal
Terkadang, dalam pemilu, kita dihadapkan pada situasi di mana tidak ada satu pun calon yang dirasa pantas untuk memimpin. Baik karena dianggap tidak memiliki kapasitas, tidak adil, atau bahkan karena dianggap zalim. Dalam situasi seperti ini, penting untuk kembali pada prinsip Islam tentang memilih yang terbaik dari yang ada. Kaidah fiqih "mengambil mudarat yang lebih ringan" adalah solusi yang bisa diterapkan. Ketika semua pilihan terasa tidak sempurna, kita tetap harus memilih yang paling sedikit keburukannya agar tidak terjadi kemudaratan yang lebih besar di masa mendatang.
Dalam sejarah Islam, pemilihan pemimpin sering kali dilakukan berdasarkan kualitas spiritual dan ketaatan seseorang pada agama. Misalnya, Rasulullah SAW pernah memilih seorang sahabat menjadi pemimpin karena kedisiplinannya dalam menjalankan shalat tepat waktu. Begitu pula pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seseorang dipilih menjadi pemimpin karena kefasihan dan kepakarannya dalam membaca Al-Qur'an. Oleh karena itu, dalam Islam, agama dan ketaatan pada Allah menjadi salah satu tolok ukur utama dalam menentukan pemimpin.
Namun, muncul pertanyaan kritis: bagaimana jika seseorang rajin beribadah, tetapi tetap melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti korupsi? Dalam Islam, ibadah seperti shalat bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga harus mampu mencerminkan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Shalat yang baik seharusnya mencegah seseorang dari perbuatan yang tercela, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya shalat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45). Jadi, jika seseorang rajin shalat tetapi tetap melakukan kemaksiatan, ada yang salah dalam pemahaman dan pelaksanaan ibadahnya.