Beragam jenis dan mode pakaian menghiasi kehidupan sosial masyarakat Aceh dalam kehidupan sekarang, baik itu produksi lokal maupun produk impor dari luar negeri. Semua jenis, bentuk dan ragam desainnya mewarnai kehidupan keseharian masyarakat Aceh.
Pun, masuknya era globalisasi telah memunculkan fenomena global yang (sedikit banyak) juga melahirkan westernisasi dalam berbusana. Sehingga, agak sulit untuk mendeteksi, cara berbusana orang Aceh yang pure dan asli seperti apa.
Lantas, bagaimanakah pola busana orang Aceh zaman dulu? Pertanyaan ini menarik dan perlu diulik.
Patut diakui, bahwa Interaksi masyarakat Aceh dengan pendatang dari berbagai negara Eropa dan Asia, telah dan ikut mempengaruhi mode pakaian orang-orang di Aceh. Namun demikian, beberapa sumber memberi titik terang mengenai hal itu.
Salah duanya, adalah datang dari buku Ensiklopedi Aceh dan pedagang Inggris yang datang ke Aceh. Ada beberapa jenis pakaian yang ditiru oleh masyarakat Aceh pada zaman dahulu dari bangsa luar. Jadi, mengikuti bahasan dalam buku ini, ketika para pedagang dari Eropa datang ke Kerajaan Aceh untuk berdagang, mode pakaian mereka diadopsi oleh orang Aceh, seperti jas model Eropa, dimodifikasi dan menjadi jas yang sesuai dengan kultur Aceh yang dikenal dalam masyarakat Aceh dengan nama bajee balk taku atau bajee balk dada.
Sementara itu, Peter Mundy, seorang pedagang Inggris yang singgah di Aceh, berhasil membuat sketsa cara berpakaian orang Aceh.
Islam sudah ada di Aceh paling tidak sejak abad 13. Namun, bukan berarti penerapan aturannya sudah sama sejak masa itu. Orang-orang asing yang datang ke Aceh menggambarkan bagaimana mereka berpakaian dan merias diri.
Berdasarkan sketsa Peter Mundy, pada 1637 sabuk itu diselempangkan di bahu kiri, senjata yang masuk dalam sarung itu panjang sekali. Senjata ini digantungkan di bawah lengan dan pegangan senjata itu tertahan di bawah ketiak. Selain pedang panjang tadi, mereka juga memakai keris. Ini semacam pisau belati.
Ia juga mendeskripsikan bahwa semua laki-laki mencukur habis kumis dan jenggot mereka. Semua berjalan tanpa alas kaki, dari raja sampai orang paling kere sekalipun.
Sementara itu, pejelajah Inggris lainnya, William Dampier, juga ikut memberi pendapat, bahwa pada 1688, masyarakat Aceh yang berkedudukan tinggi biasanya memakai kupiah di kepala dari kain wol berwarna merah atau warna lain.Â
Mereka memakai celana pendek. Bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak. Sementara rakyat kecil telanjang dari pinggang ke atas. Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu. Hanya orang kaya yang memakai sandal.
Lantas bagaimana dengan busana perempuan di masa itu?