Punya pacar yang protektif itu pasti asyik, selalu dilindungi, dikhawatirkan. Apalagi untuk perempuan, hal itu bisa membuat kita merasa benar-benar di sayang. Tapi kalau protektifnya sudah berlebihan... apakah nyaman? Apakah tidak apa-apa?
Bukan sekali ini saja saya punya partner bule. Saya punya beberapa mantan bule dari Negara Eropa dan Amerika. Mulai dari seumuran, agak lebih muda dari saya, sampai yang jauh lebih tua seperti saat ini. Rata-rata mereka adalah orang yang santai, apalagi kalau cuma baru pacaran beberapa bulan saja. Mereka nggak suka mengatur, nggak suka mendikte pasangannya harus melakukan ini dan itu. Mereka cuma sekedar mengingatkan untuk berhati-hati dan tidak melakukan hal yang bodoh.
Ya, seperti itulah kira-kira gambaran berhubungan dengan mantan-mantan bule saya. But, tunggu dulu... nggak semua bule seperti itu. Ada pula bule yang sangat protektif ke pasangannya sampai jatuhnya jadi posesif, seperti pacar saya sekarang ini.
Dia sudah menunjukkan betapa protektifnya dia di awal pendekatan kami dulu. Dia tidak terlalu suka jika saya menghabiskan waktu di café dengan teman-teman dan pulang lebih dari jam sembilan malam. Saya pun masih cuek dan tidak begitu menghiraukan karena kami masih belum seserius seperti saat ini.
Lalu pada akhirnya kami bertemu, mengenal satu sama lain dan saya mulai merasa bahwa dia sangat posesif. Bahkan salah satu teman saya sampai bilang kalau dia ini justru mungkin terobsesi dengan saya. Bukan tanpa alasan, ini disebabkan karena dia selalu ketakutan saat saya hang out bersama teman-teman atau bahkan bersama keluarga saya. Dia tidak bisa berhenti bertanya pukul berapa saya akan pulang ke rumah atau apakah saya hanya dengan teman perempuan atau lelaki. Kami bisa bertengkar semalaman hanya karena hal-hal sepele yang membuat dia curiga kepada saya.
Pada akhirnya itu menyakiti kami berdua. Saya mulai tidak tahan dan mengatakan lebih baik mungkin kita tidak bersama-sama karena itu hanya akan menyakiti kedua belah pihak. Di awal-awal mungkin saya begitu mendengarkan apa yang dia minta. Jarang sekali saya keluar rumah apalagi semenjak pindah ke Bali. Saya bahkan tidak diperbolehkan bekerja. Tapi setelah semua yang saya lakukan untuk menuruti dia masih  dianggap tidak cukup, saya tidak punya pilihan lain selain memberontak. Mau tidak mau saya harus menunjukkan kepadanya bahwa saya perlu ruang gerak yang tidak akan mengganggu hubungan kami berdua. Saya perlu memperlihatkan bahwa dia adalah prioritas saya tapi saya masih butuh kehidupan social saya atau semua ini tidak akan berhasil untuk kami berdua.Â
Pada akhirnya... dia mau sedikit demi sedikit berubah karena dia tidak mau kehilangan saya. Dia bersedia untuk mengurangi sifat posesifnya terhadap saya. Dia mulai membiarkan saya untuk bekerja dan bahkan membantu saya mendapatkan pekerjaan. Dia lebih bisa menghargai waktu yang terkadang saya butuhkan untuk diri sendiri. Dia memang masih sering takut saat saya pergi terlalu lama bersama teman-teman saya, tapi sedikit banyak saya bisa mengerti setelah tahu lebih banyak alasannya. Ini semua karena masa lalunya. Kegagalannya berumah tangga di masa lampau dan kebodohannya yang mau di tipu berkali-kali oleh wanita yang dicintainya dulu. Hal itu menyakitinya dan bahkan setelah bercerai dan mencoba berhubungan kembali dia diperlakukan dengan sama. Ditipu. Diselingkuhi. Itu membawa trauma yang besar terhadap dirinya.
Tidak mudah memang berhadapan dengan lelaki yang posesif. Tapi kalau kita bisa dan mau melihat hal dibalik sifat posesif itu, mungkin kita akan lebih bisa mengerti dan justru membantu mengatasinya. Memang tidak nyaman di awal, tapi kalau kita mau berusaha bersama, saya yakin sifat posesif itu bisa mereda dan membawa kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H