Seorang sahabat bercerita tentang kakak iparnya yang membawa seorang guru besar Universitas Al-Azhar Mesir. Sang guru besar itu diajaknya berkeliling kota Jakarta, memasuki sebuah Mall terbesar di Jakarta Selatan. Beliau heran, Indonesia yang katanya negara miskin, ada bangunan -mall- yang semegah itu. Tambahnya lagi, ia tidak melihat ada mobil 'butut' di sepanjang jalan ibukota. “Indonesia tidak miskin” ujarnya.
Ya, jika fenomena yang kita saksikan itu seperti di atas, kesimpulan Indonesia tidaklah melarat sungguh tepat. Namun sebetulnya, ada dua kemungkinan yang tepat untuk menafsirkan gambaran di atas. Pertama, benar bahwa Indonesia tidaklah miskin. Sebaliknya, negeri itu –Indonesia– kaya. Variabel penilaiannya ialah budaya masyarakat Indonesia (ibukota khususnya). Gedung-gedung mewah, mall-mall megah serta budaya hedon yang merambah di hampir setiap sudut masyarakat kota semakin menampilkan wajah kesugihan Indonesia. Padahal, seandainya si Guru Besar itu mau sejenak saja menengok pinggiran ibukota (apalagi masyarakat pedalaman kita) kesimpulannya akan terbantahkan dengan kemungkinan kedua, yaitu Indonesia negara miskin yang berbaju kemewahan dan hedonitas. Ini menampilkan ketimpangan yang sangat jelas akibat tidak adanya pemerataan antar daerah. Kekayaan daerah hanya dikeruk untuk memperkaya dan mempermegah ibukota semata.
Untuk kemungkinan yang pertama, mengenai fenomena masyarakat ibukota, tak sedikit oleh kita masyarakat pinggiran menganggap perilaku warga ibukota sebagai perilaku hedon, yang menghamburkan rupiah di tengah keterpurukan masyarakat daerah. Namun pertanyaannya, apakah pantas kita sebagai masyarakat pinggiran yang mengaku melarat mengutuk perilaku hedon (menurut kita) mereka? Perilaku hedonisme sangat identik dengan kesenangan dan foya-foya. Membuang-buang waktu dan harta untuk memuaskan sebuah hasrat kesenangan semata.
Apakah betul mereka yang kita anggap berperilaku hedon itu membuang harta dan waktu mereka? Jawabannya tentu tidak oleh mereka yang melakukannya. Dan kita tidak bisa menyalahkan jawaban mereka bila memang jawabannya demikian. Pasalnya, perilaku hedon merupakan sebuah kebutuhan primer bagi seorang yang kesehariannya disibukkan dengan setumpuk berkas dan pekerjaannya selama hari kerjanya. Dan bila di akhir pekan mereka bersenang-senang merupakan hal yang wajar sebagai alat pembuang rasa penat mereka. Apalagi mereka yang kita anggap hedon merupakan warga negara yang patuh, bahkan sangat mungkin lebih patuh dari kita yang selalu mengaku benar dalam berwarganegara. Mereka pembayar pajak yang setia, mereka tidak melakukan tindak pidana dan mereka pun pemberi sedekah pula. Jikapun ada yang melenceng, toh kaidah Ushul Fiqh mengatakan bahwa kullu syay’in mutsnatsnayat. Ya, segala sesuatu pasti ada pengecualiannya.
Hidup di Jakarta menuntut orang berkompetisi di segala bidang, terutama bidang yang kita geluti. Dan mereka, 'pemenang' kompetisi itu, harus disibukkan dengan aktifitas untuk mempertahankan status mereka sebagai 'pemenang'. Dan pola ini akan sangat menguras tenaga dan fikiran. Adalah sebuah kewajiban mencari hiburan untuk menyegarkan kembali tenaga dan fikiran. Salah satunya ya perilaku yang kita anggap hedon itu, belanja di mall, ke cafe, atau ke klub-klub malam.
Yang kedua ialah permasalahan ketimpangan sosial antar daerah yang menyebabkan kejomplangan antara wilayah orang kaya dan orang miskin. Dan sayangnya, yang kaya-lah yang memang selalu ditampilkan. Sangat mungkin mereka banyak ditampilkan karena mereka lebih mampu untuk tampil daripada kaum miskin. Bila ini permasalahan utamanya, maka kaum sosialita di atas tidak bisa kita salahkan begitu saja. Tentu ada something wrong dalam sistem di negara kita. Di sinilah kemudian kita bisa menilai, di mana kesalahan bangsa kita sehingga kita menjadi miskin. Paling tidak ada tiga jenis miskin di dunia ini yang dari sana kita bisa melihat asal muasal kemiskinan. Pertama, miskin karena takdir, di mana kaum miskin ini memang sudah berusaha dan bekerja namun masih tak mampu mencukup kebutuhan hidup. Kedua, miskin karena pilihan, adalah disebabkan kemalasan mereka untuk mencari penghasilan. Dan ketiga, termiskinkan. Yaitu di mana keadaan masyarakatnya memang dikondisikan untuk miskin. Hanya penguasa yang bisa melakukan ini. Kita bisa menilai, mana kemungkinan paling utama dari penyebab kemiskinan yang melanda negeri kita.
Untuk mengentaskannya, diperlukan setidaknya dua langkah radikal di negeri kita. Yaitu pertama adalah revolusi moral dan budaya kaum penguasa, baik itu di yudikatif, legislatif maupun eksekutif. Revolusi total tidak menjamin sebuah perubahan pada kemajuan, bisa jadi sebaliknya atau sama dengan kondisi pertama. Dan memang kebobrokan utama pemimpin bangsa kita terletak pada moral dan budayanya. Di negeri kita, seorang anggota parlemen pun bisa nonton video porno saat sidang paripurna. Korupsi sudah menjadi tradisi. Mereka yang yang tidak korupsi harus siap angkat kaki. Tapi barangkali, perilaku yang kita anggap korupsi itu bukanlah perilaku korupsi untuk mereka. Kalo seperti ini faktanya, sangat sulit untuk tidak melakukan korupsi sepertinya.
Kedua, pembekalan diri yang kuat. Pembekalan ini berupa peningkatan kualitas diri dengan memperkaya kratifitas yang bermutu. Dikatakan kreatfitas bermutu karena realitanya banyak kreatifitas yang tumpul dan menumpulkan, misalnya, dunia perfilman kita yang banyak mengekplore nuansa sensualitas perempuan. Mirisnya, artis-artis porno dunia kini meramaikan ajang kreatifitas bangsa kita itu.
Bangsa kita adalah bangsa yang bermoral, namun semua yang ditampilkan sangat amoral. Ironisnya, motornya ialah para pemimpin bangsa kita, dan kini sudah diikuti oleh semua lapisan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H