Mohon tunggu...
Moh Shobahur Rizqi
Moh Shobahur Rizqi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka orang yang penuh dedikasi dan setia, apakah itu Anda?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pergeseran Orientasi Mahasiswa Ciputat?

13 Juni 2011   10:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas mahasiswa selalu menjadi kebanggaan sendiri bagi seorang yang baru memasuki jenjang perkuliahan. Ada perasaan gembira dan bahagia, bercampur dengan perasaan tertantang. Ya, tantangan. Masa-masa menjadi mahasiswa selalu disambut positif dan optimis oleh setiap orang yang menjadi mahasiswa. Usia perkuliahan menjadi langkah baru bagi seseorang untuk menginjak masa depan. Sehingga ada yang bialng bahwa, kegagalan atau kesuksesan seseorang bisa dilihat saat ia menjadi mahasiswa.

Dalam dunia mahasiswa, sangat dikenal dengan motto agent of change. Motto ini selalu didengungkan oleh mahasiswa senior kepada juniornya yang baru masuk. Hal ini berdampka positif memang. Yaitu dimana mahasiswa merasa terangkat kepercayaan dirinya dengan gelar sebagai agen perubahan, dan otomatis pula mereka merasa tertantang dengan sebutan tersebut. Tapi tidak menutup fakta juga ada segelintir mahasiswa yang merasa terbebani dengan istilah tersebut. Kalau boleh saya menyebut mereka sebagai ‘the looser students’. Ya, mereka menyerah sebelum bertanding.

Namun mirisnya, realita mahasiswa masa kini mereka seolah tidak mau terbebani dengan istilah agent of change tersebut. Bagi mereka, mahasiswa masa kini itu, masa perkuliahan dianggap hanya sebatas pada batu loncatan untuk mencari ijasah yang dengan ijasah tersebut mereka bisa melamar kerja di tempat yang mereka inginkan. Orientasi mereka bukan lagi akademis, melainkan pragmatis. Mereka mengeluarkan modal uang untuk bayar kuliah, maka efeknya mereka juga harus bisa mencari pengganti uang kuliah tersebut dengan mendapat gaji dari hasil pekerjaan yang akan mereka dapatkan nanti. Sungguh pola pikir yang sempit jika demikian. Namun realita berbicara demikian.

Sebetulnya fakta di atas tidak jelek-jelek amat memang. Dan itu saya kira lumrah sebagai naluri alamiah seseorang sebagai makhluk yang dituntut untuk berjuang dan bertahan hidup. Namun kalau dibandingkan dengan status ‘mahasiswa’-nya, sungguh patut disayangkan. Karir akademik yang tinggi (mahasiswa), yang tidak semua masyarakat Indonesia bisa rasakan, harus ternodai oleh pola pikir yang demikian. Kalau boleh saya runut penyebabnya, ada faktor eksternal yang bermain dari kondisi seperti ini. Tentu saja mentalitas individu yang sangat berpengaruh sebetulnya. Namun ketika mentalnya sudah jeblok kemudian ditambah dengan dorongan dari luar tentu ini akan semakin mempercepat keterpurukan.

Faktor eksternal yang penulis maksud di atas ialah faktor globalisasi. Globalisasi yang sangat didengung-dengungkan oleh negara-negara kapitalis sekilah memberi harapan bagi masa depan dunia. Dan memang isu yang dibawanya pun sangat menarik dan terkesan mewah bahkan. Yaitu menuju sebuah pandangan dunia baru yang mengedepankan profesionalisme. Dan para profesional inilah mereka budak-budak kapitalis yang sangat dicita-citakan para mahasiswa yang tak mau menyandang gelar ‘agent of change’ itu.

Di luar itu, yang ingin penulis angkat sebetulnya bukanlah mencari kambing hitam atau bahkan terkesan memberikan problem solving yang solutif. Tulisan ini hanya ingin mengungkap realita dan fakta yang ada di dunia mahasiswa kini di mana mahasiswa tidak lagi memiliki idealisme akademiknya. Mereka hanya berfikir pragmatis bahwa setelah kuliah ialah mencari nilai ‘A’, mendapat predikat ‘cum laude’ dan mencari pekerjaan dengan gaji di atas 10 juta. Tidak bisa dipungkiri semua orang (mahasiswa pada khususnya) juga sebetulnya menginginkan hal yang sama seperti yang penulis sebut di atas. Namun permasalahannya adalah ketika kita hanya terkungkung pada tujuan di atas saja. Bisa terbayang betapa sempitnya mindset kita.Maka wajar ketika pak menakertrans – Cak Imin – mengatakan bahwa 95 % sarjana hanya berorientasi mau jadi ‘kuli’. Artinya mahasiswa kini berfikir mereka musti melamar kerja, bukan sebaliknya, membuka lapangan kerja.

Ini adalah fakta. Mahasiswa lebih cenderung pada tujuan seperti di atas semata. Dan fenomena yang demikian bisa kita saksikan hampir di seluruh kampus yang ada di Indonesia. Di UIN saja, kampus tempat penulis mendapat predikat ‘mahasiswa’, fenomena ini sudah sangat kentara sekali. Bahkan kampusnya sendiri seolah memfasilitasi mahasiswanya untuk berfikir semacam itu. Yang lebih mengenaskan lagi, mahasiswanya digiring ke ranah hedonitas daripada intelektualitas. Hal ini mungkin tidak disadari secara langsung oleh mereka para pembuat kebijakan. Tapi kita bisa lihat, betapa fasilitas-fasilitas penunjang akademik penulis nilai cenderung stagnan, bahkan terkesan menurun. Perpustakaan buka pada jam tertentu saja, bahkan sering terlambat jam bukanya. Pernah suatu ketika penulis bermaksud ke perpustakaan utama yang ‘konon’ (jangan dibalik ya..) bukan jam delapan pagi. Tapi penulis menunggu di depan perpustakaan hingga jam 08.30 pun belum juga buka. Sampainya frustasi penulis memilih kembali saja daripada jadi ‘orang tolol’ di depan perpustakaan. Permasalahan bertambah ruwet ketika tidak ada pihak yang mau dievaluasi. Mereka satu sama lain membenarkan perilaku mereka.

Dampaknya bisa kita saksikan sendiri di kampus UIN sendiri. Kita kesulitan mencari forum-forum kajian seperti yang pernah penulis saksikan saat baru masuk kuliah dulu. Forum kajian yang terjadi di pelataran-pelataran kampus justru mengkaji gosip artis, gaya hidup, atau hasil pertandingan bola semalam. Tidak buruk memang mendiskusikan hal-hal seperti itu bila obrolan di atas bisa ditarik ke dunia ‘akademik’ tentunya. Seperti misalkan bahwa sepakbola sangat terkait erat dengan Teologis Ketuhanan. Kemudian di sana dibicarakan bagaimana sepakbola bisa menjadi menarik, bisa menghipnotis penggemarnya, dan sejauh mana keterlibatan Tuhan di dalamnya. Atau ketika membicarakan pola gaya hidup, bisa ditarik ke dunia filsafat.

Ahh, tapi ini cuma angan-angan penulis saja sepertinya. Angan-angan seorang yang merindukan hiruk-pikuk dunia ‘ideal’ penyandang status kemahasiswaan. Hufft, semoga saja ada forum-forum intelektual yang masih eksis yang penulis tidak ketahui, dan semoga ini menjadi awal bagi penulis untuk mengenali forum-forum seperti itu..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun