Di masa lampau, masyarakat Jawa pada umumnya tak banyak bicara. Tak terlalu berhasrat untuk berkuasa. Tak perlu adanya konfrontasi untuk mendapatkan pengaruh kekuasaan ke seluruh dunia. Cukup dengan mengganjal perut dengan segenggam makanan akan membuat tenang jiwa mereka.
Namun, ternyata mereka juga bisa marah jika ketenteraman mereka diusik. Hal ini terjadi ketika ada pendatang baru yang berani merusak kelestarian lingkungan Jawa, meski dengan propaganda menarik. Seperti yang dilakukan oleh pendatang dari Rum yang membabat sebagian hutan untuk perkampungan. Dia mempromosikan modernisasi, mempropagandakan pembangunan. Tapi Semar, leluhur Jawa tak mau lingkungannya diusik.
Bagi Semar, tak perlu ada pembaharuan. Ia tidak butuh modernisasi. Yang ia butuhkan kenyamanan, ketenteraman dan kesejahteraan. Untuk apa pembangunan digalakkan kalau ia merusak kelestarian alam. Mengikis keharmonisan lingkungan.
“Hai pendatang baru, tak tahu diri kalian.” Seru Semar tak rela tanahnya diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Ia merasa bahwa tanah kekuasaannya tak berhak diapa-apakan kecuali olehnya. Apalagi membabat hutan yang tak lain adalah tempat tinggalnya.
Tak ada seorangpun yang berani menebang satu batang pohon pun di tanah kekuasaanya. Tapi manusia yang satu ini, tanpa rasa takut dan penghormatan pada leluhur menebang satu demi satu tanaman hutan. Dengan dalih ingin memajukan tanah Jawa dengan pembangunan.
Si pembabat hutan itu menghampiri Semar, ”inilah salah satu alasan kami mendirikan perkampungan di sini. Menciptakan modernitas. Menghilangkan pikiran-pikiran picik sepertimu, yang tak tahu arus global.”
Semar semakin tak terima. Kata-kata yang keluar darinya bagai goresan pedang di hati melalui telinganya. ”Kurang ajar, kau menantangku rupanya ya!!!” Semar melayangkan tinjunya ke muka pembabat, tapi dengan sigap tangan Semar dielakkannya. Tangan kirinya menyusul tangan kananya yang gagal mengenai muka si sok pintar itu, tapi kembali dimentahkannya.
”Tak perlu kau emosi tuan. Kedatangan saya ke sini dengan maksud baik.”
Semar seperti semakin dihina dengan perkataan itu. Ia melayangkan tubuh sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya ke arah musuh, tapi berulang kali ditangkisnya. Tak satupun tendangannya mengenai sasaran.
Putus asa, Semar pergi meninggalkan si pembabat hutan itu. Perasaan dongkol menemani pelariannya. Mencari pembelaan. Ia berjalan ke arah Wonosari, meminta bantuan Nyi Gahung Mlati, pemimpin roh penunggu hutan belantara.
”Nyi, selazimnya Nyai tahu tentang peristiwa yang menimpa hamba. Adakah jalan keluarnya?” Semar membungkukkan badan dengan mengangkat tangan yang dirapatkannya. Lama pertanyaannya terucap, tapi tak ada jawaban yang terlontar dari sosok perempuan di hadapannya.
***
Di abad modern, abad XXI, Semar masih belum bisa menerima kehadiran orang asing yang ingin merusak kelestarian alam dan tradisi masyarakatnya. Kali ini ia tidak turun langsung untuk menjaga kelestarian dan tradisi Jawa. Melalui pengikutnya, ia mendogmakan tentang pelestarian kemurnian lokal. Ia tak ingin ada kontaminasi yang dulu menimpanya semakin merajalele. Baginya lebih baik memakan ubi dan singkong daripada makan daging yang dihasilkan dari peternakan yang menebang hijau tetumbuhan hutan. Ia menjelmakan diri menjadi Ngadyo agar mudah berinteraksi dengan manusia-manusia pada umumnya. Ia pun melakukan aktivitas sebagaimana aktivitas manusia umumnya, termasuk shalat berjamaah.
Ngadyo berkata pada orang yang berjenggot, bergaun gamis keputih-putihan. Peci putih menempel di kepalanya. ”Apa Tuhan hanya menerima kalian, sedangkan aku memakai batik dan blangkon?”
”Masya Allah.. Astaghfirullah.. Tuhan tidak melihat fisik kita. Tuhan tidak menilai dari cara berpakaian kita. Tapi ini yang dinilai-Nya..” jari telunjuknya menuding dadanya. Kepalanya digeleng-gelengkan. Dari wajahnya tersemburatkan senyum. Senyum yang sulit diartikan.
Ngadyo tersenyum bangga mendengar jawaban dari Salim. Tapi tak ada tanda keanehan dari diri Salim. Mungkin ia tidak tahu maksud pertanyaan Ngadyo. Selanjutnya tak ada lagi bincang dari keduanya. Kecuali ucapan amien ketika imam selesai membacakan surat al-fatihah.
”Maaf, pak Ngadyo, boleh kita melanjutkan perbincangan tadi?” Ngadyo belum tahu maksud permintaan Salim. Tak terlintas di benaknya bahwa ternyata Salim belum puas dengan pertanyaan Ngadyo.
Polos Ngadyo berkata, ”perbincangan yang mana ya?”
”Ohh, maaf. Saya hanya ingin menanggapi pertanyaan bapak mengenai cara berpakaian...”
Belum selesai bicara, Ngadyo langsung memotongnya karena pikirannya baru bisa mengena maksudnya, ”Ohh, iya maaf, maaf. Saya kira perbincangan yang mana!” Mungkin karena banyaknya mengobral mulut, sehingga Ngadyo lupa dengan perbincangan dengan Salim.
”Mungkin pak Ngadyo beranggapan bahwa hanya ada sedikit makna di balik cara kita berpakaian, asal menjaga kesopanan dan kepantasan. Saya paham maksud bapak, dan orang-orang di sekitar bapak. Sudah banyak kata-kata seperti itu berhembus ke telinga saya dan kawan-kawan di sekitar saya.”
Ngadyo menyimak betul setiap kata yang keluar dari Salim, agar setiap saat ia bisa mementahkan ucapan-ucapannya. ”Pak Ngadyo, apa bapak tidak merasakan manfaat berpakaian, kemudian model pakaian yang kita kenakan, serta bahan dari pakaian yang kita pakai?” Ngadyo hanya diam mendengarnya, ia tahu itu bukan pertanyaan yang butuh jawaban. ”Semua memiliki efek terhadap diri kita pak.”
”Kalau anda tahu, pakaian yang kita kenakan,” Salim menunjukkan pakaian yang dikenakan, ”dapat menghindarkan diri kita dari perbuatan tercela. Misal saja, saya yang mengenakan pakaian gamis seperti ini, tidak mungkin akan pergi ke bioskop, hampir mustahil untuk berbuat jahil, dan akan berpikir untuk melakukan hal-hal yang ganjil. Sebaliknya, ketika saya berpakaian seperti orang-orang yang katanya modern yang biasa mereka dikenakan, saya bebas melakukan apa saja. Saya tak perlu berpikir panjang untuk berbuat jahat. Dengan kata lain, pakaian selain menjadi identitas diri, juga bisa menjaga sikap kita.”
Tamat Salim berucap, ia dikejutkan oleh lelaki berparas cakap, tapi hampir tak bersikap. Lelaki tadi melintas di antara Salim dan Ngadyo bicara. Setelah melewati keduanya, lelaki itu menunjuk wajah Ngadyo dan Salim. Ia berbicara lantang, bahkan bisa dikatakan berteriak. Yang lebih mengherankan, lelaki itu mengenakan pakaian yang tidak seperti pakaian. Berwarna sama dengan warna kulitnya. Bahannya pun mungkin sama. Hampir-hampir Ngadyo meneriakkannya orang gila yang bugil. Tapi ia sadar kalau ia bugil, tentunya ada benjolan di badan.
Segera ia menenangkan orang itu, dan menyentuh tangannya. Ngadyo kaget karena ternyata lelaki itu ternyata berpakaian.
”Apa maksud anda menarik-narik baju saya. Heran ya? Baru lihat ya? Mau ya? Ini pakaian impor yang tidak mungkin ada yang menjualnya, kecuali melalui pesanan. Jika semua orang mengenakan pakaian ini, pasti tidak ada lagi pertentangan di antara kalian!”
Salim dan Ngadyo semakin penasaran. Mereka tak tahu maksudnya ucapannya. Malah yang ada hanya keluh kesah, semakin menambah rasa heran.
Seakan tahu isi hati, lelaki tadi berkata teratur rapi, ”kalian tak usah susah payah, tak perlu mengeluh, heran, penasaran dan segal macam. Aku pasti memberitahu kalian. Dengar,” mukanya dimajukan ke hadapan Salim dan Ngadyo, ”bukan zamannya lagi mendebatkan pakaian, apalagi pakaian-pakaian kuno seperti milik kalian. Sekarang zamannya berpakaian seperti yang aku kenakan.”
”Maaftuan, kalau boleh tahu, pakaian anda itu sepertinya dari kulit?”
”Wauw!!! Baru ada orang yang bisa menebak dengan tepat pakaianku ini. Ya, betul! Aku memakai pakaian dari kulit, kulit yang paling mahal di dunia. Kalian tahu kulit apa? Kulit manusia!”
Respon keduanya berlawanan. Salim merasa sangat dikejutkan dengan ucapan si lelaki, sedangkan Ngadyo biaso-biaso sajo. ”Telanjang dong!” cetus Ngadyo.
”Masya Allah! Anda jujur dengan ucapan anda?” Salim menambahkan.
”Kalau kalian ada yang minat, bisa saya bawakan bahannya, bahkan kalau mau bisa saya bawakan mentahnya supaya kalian pecaya kalau ini adalah pakaian kulit manusia. Lihat,” lelaki itu menunjukkan lengan bajunya, ”yang ini terbuat dari kulit perempuan muda, agak lembut dari bagian yang lain. Meski sebagian besar yang saya kenakan ini dari kulit bocah balita, tapi untuk mendapatkan variasi yang menarik aku mengambil beberapa bagian pula dari kulit berusia beda.”
”Dari mana kau dapatkan begitu banyak kulit-kulit yang kau jadikan bahan pakaian itu?” Mata Salim melotot, meski Ngadyo menganggapnya berlebihan.
”Saya punya kawan seorang tentara. Dia bukan orang Indonesia, tapi orang Israel yang bertugas di Palestina. Aku mengenalnya di messenger. Beberapa minggu yang lalu, ia menawarkan saya bahan pakaian yang bagus. Katanya bahan pakaian itu tidak ada yang menyamai halus, melebihi kain sutera India. Ia menawarkan sejuta per meternya. Ketika ia bilang kalau bahan itu kulit manusia, awalnya saya ragu juga. Tapi apa salahnya mencobanya. Saya pun memesan sepuluh meter saja, tujuh meter kulit manusia dewasa, dan sisanya balita. Ia pun mengirim seminggu setelahnya. Tanpa menunggu lama, saya pun segera menyuruh istri untuk menjahitnya. Inilah hasilnya...” Lelaki tu menyeringai bangga mengenakan pakaian berbahan kulit manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H