Mohon tunggu...
Moch. Shifaur Rosyidy
Moch. Shifaur Rosyidy Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Cogito Ergo Sum | Memaksakan diri untuk membiasakan menulis setiap waktu | Semoga Bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Security Dilemma ASEAN Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan

15 Agustus 2024   20:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   02:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Laut Cina Selatan  (dokpri)

Security Dilemma ASEAN Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan

Security dilemma dideskripsikan sebagai kondisi di mana negara mengambil langkah untuk memperkokoh sebuah sistem keamanan dan pertahanannya yang nantinya akan mempengaruhi reaksi negara lain yang dianggap sebagai ancaman untuk mengambil tindakan defensif dan disisi lain tujuan memperkokoh sebuah sistem keamanan untuk menambah kemitraan strategis bersama negara lain yang lebih kuat. 

Menurut Jervis, ia menjelaskan teori security dilemma bahwa kondisi negara yang memiliki tingkat pertahanan dan keamanan yang tinggi nantinya akan berpotensi melemahkan kebijakan pertahanan dan keamanan negara lain. Dalam hal ini di suatu kawasan, security dilemma berpotensi memicu konflik dan persaingan terhadap usaha negara untuk menjaga dan merawat sebuah perdamaian.

Laut Cina Selatan merupakan sebuah jantung geoekonomi dan geopolitik bagi negara-negara di Asia Tenggara. Tentunya negara-negara Asia Tenggara ini sangat bergantung pada stabilitas regional sebagai sumber produksi dan jalur pelayaran energi. Laut Cina Selatan juga sebagai jalur perlintasan maritim ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi nilai transaksi global sekitar 5 triliyun dolar setiap tahunnya.

Dengan keberadaan berbagai sumber produksi dan jalur pelayaran atau perdagangan yang sangat strategis dan potensial di Laut Cina Selatan memudahkan pertukaran barang lintas negara dan banyak pemanfaatan alternatif energi dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena berbagai banyak manfaat dan potensi di Laut Cina Selatan dalam membuat terjadinya kontestasi negara-negara ASEAN dan negara-negara luar ASEAN seperti Cina dan AS. Sengketa teritori ini diwarnai ketegangan oleh berbagai pihak, karena mereka sama-sama mengakui bahwa terdapat wilayah kedaulatan teritorial masing-masing dan tentunya juga banyak kepentingan di situ.

Tidak adanya norma dan hukum yang mengikat menjadikan ASEAN menghadapi persoalan besar terhadap pihak-pihak yang berkepentingan seperti pelanggaran hukum internasional dan ASEAN yang dilakukan oleh Cina dengan mengekspansi di Laut Cina Selatan. Dalam konteks yang lebih luas, Cina dan AS sebagai negara di luar regional ASEAN juga bersaing untuk memberikan pengaruh yang bertujuan untuk menjadi negara hegemoni di teritori ini. Dengan ini negara-negara ASEAN memiliki tantangan dan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara stabilitas keamanan.

Sumber: Yoga Suharman, "Dilema Keamanan dan Respons Kolektif ASEAN terhadap Sengketa Laut Cina Selatan". Intermestic: Journal of International Studies, e-ISSN.2503-443X. Vol 3, No. 2, Mei 2019 (127-146)

Dilema keamanan ASEAN ini dikarenakan negara-negara ASEAN masih ketergantungan dari segi ekonomi dalam China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang membuat melemahnya kekuatan kolektif ASEAN dalam menekan tindakan provokatif Cina di Laut Cina Selatan. Sedangkan di sisi lain, AS membentuk aliansi di regional yang istilahnya sebagai buffer states atau negara-negara penyangga yang betujuan untuk membendung pengaruh dan ekspansi Cina.

Kekuatan Cina dan AS saling merebutkan pengaruh dan hegemoni yang kuat di regional tentunya dengan memperluas hadirnya militer. Kalau bisa dikatakan bahwa Cina yang hanya menginginkan menjadi negara kuasa atau hegemoni di regional sedangkan AS sebagai negara super power atau unipolar di seluruh kawasan dunia tentunya ingin mempertahankan eskistensinya. 

Kalau dilihat dari sengketa tersebut pengaruh Cina lebih besar daripada AS karena lagi-lagi memang menyangkut hubungan bilateral antaran negara-negara ASEAN. Terbukti di tahun 2017 Cina terus melakukan tindakan-tindakan ofensif namun tekanan terus-menerus yang dilakukan ASEAN tidak berarti. Apalagi Cina berdalih dengan menawarkan inisiasi One Belt One Road yang proyek infrastrukturnya diakui diseluruh dunia. Hal itu menjadi poin plus Cina dalam melakukan propaganda demi menghindari putusan arbitrase. Dengan itu seharusnya negara-negara ASEAN harus solid dalam membuat kebijakan dan salah satu negara tidak boleh berkontradiksi dalam membuat kebijakan sengketa Laut Cina Selatan bisa menghasilkan resolusi konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun