Sebentar lagi pelantikan presiden terpilih Jokowi dilaksanakan, isu batal dilantik atau skenario pemakzulan presiden santer membuat pendukungnya pasang badan. Pemakzulan bisa terjadi tidak hanya oleh DPR/MPR tetapi oleh rakyat bila negara dalam keadaan gawat darurat misalnya kondisi hutang negara yang mendekati ambang batas menuju kebangkrutan.
Ciri-ciri negara yang akan mengalami kebangkrutan menurutliputan 6. Com adalah :
1.Pasar saham akan crash
2.Semua lembaga keuangan akan gagal
3.Program pendanaan pemerintah akan berakhir sehingga tidak ada lagi jaminan bagi masyarakat
4.Pelaku bisnis akan menutup usaha mereka sehingga tidak ada lagi pekerjaan
5.Ekspor dan produksi sulit
6.Terjadi kerusuhan massal sementara aparat keamanan tidak ada
7.Setiap orang akan mulai saling melakukan segala cara untuk mendapatkan pasokan makanan
8.Orang kaya akan menguasai negara dan mengubah sistem demokrasi menjadi kediktatoran.
9.Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu.
10.Hutang luar negeri yang semakin menumpuk
(http://bisnis.liputan6.com/read/481965/ini-yang-terjadi-saat-negara-bangkrut)
Roni Bako, pengamat perpajakan misalnya menyatakan Jokowi akan diwarisi anggaran yang 'berdarah-darah' begitu menjabat sebagai presiden. "Agak berat buat Jokowi, bahkan bisa dibilang mustahil," ujarnya . (http://finance.detik.com/read/2014/10/09/104755/2713920/4/setoran-pajak-memble-jokowi-diwarisi-apbn-berdarah-darah?f9911023)
Benarkahdan timbul pertanyaan :
1.Bukankah pajak merupakan perwujudan gotong royong, adakah yang salah dengan sistem pemungutan pajak di Indonesia, mengapa 70 % WP terdaftar tidak membayar pajak, apakah pegawai pajak yang tidak profesional ?
2.Bagaimana dengan Wajib Pajak yang belum terdaftar ?
Data word bank tahun 2012 penduduk Indonesia 246 juta jiwa dimana 25 % atau 61,5 juta WP orang pribadi memenuhi syarat sebagai WP. Jika 23,22 juta sudah terdaftar maka masih ada potensi 38,28 juta WP belum terdaftar. (https://www.youtube.com/watch?v=I_2l7XlcHX0).Total 54,53 juta WP belum melaksanakan kewajiban perpajakan.
Kalau pajak yang harus dibayar 54,53 juta WP tersebut rata-rata sebesar 1 juta perbulan maka potensi penerimaan yang belum tergali dari WP orang pribadi sebesar 654,408 T.
Data seluruh pegawai DJP kurang lebih 32.000 pegawai, menimbulkan pertanyaan mampukah menangani 61,5 juta WP orang pribadi ?. Jika seorang AR dapat mengawasi maksimal 800 WP maka idealnya dibutuhkan 76.875 AR dan jika hanya 0.005 % dari 61,5 juta WP yang diperiksa dengan asumsi tim pemeriksa terdiri 3 orang pemeriksa dapat memeriksa 20 WP maka idealnya diperlukan 46.125 Pemeriksa.Kalau ditambah dengan Penyidik dan pegawai pendukung idealnya pegawai DJP kurang lebih 150.000 pegawai. Apabila ditambah dengan pegawai pajak yang menangani WP badan sekitar 25 ribu, maka jumlah pegawai pajak seharusnya sekirat 175 ribuPertanyaannya adalah :
1.Mengapa jumlah pegawai DJP hanya terpenuhi 20 % saja ?
2.Adakah birokrasi lain menghambat rekrutmen pegawai pajak ?
3.Mungkinkah otoritas pajak dengan tanggung jawab besar dan jumlah pegawai sebanyak itu dikendalikan oleh Pejabat Eselon I ?
Kondisi tersebut di atas dan kondisi penerimaan negara yang diprediksi hanya terealisasi 80 % serta posisi utang negara yang mendekati ambang batas tentu tidak mungkin mendukung program Kartu Pintar dan Kartu Sehat yang digagas Jokowi saat kampanye pilpres.
Tidaklah salah jika peneliti Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia, Dani Setiawan, mengatakan pemerintahan selanjutnya harus mampu menghapus kebijakan terkait utang negara.
Menurutnya, pemerintah juga harus melihat bagaimana optimalisasi sumber permintaan negara dari pajak dan stabilitas Rupiah terhadap mata uang asing. "Selain itu, utang yang tidak bermanfaat harus ditekan," tambahnya. (http://economy.okezone.com/read/2014/09/23/20/1043378/pengamat-stop-utang-tak-bermanfaat).
Para perintis (pendiri) negeri ini paham betul bahwapajak mempunyai peranan penting untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negeri ini sehingga merasa perlu membuat pasal khusus mengatur pajak pada UUD 1945. Rezim orlapun menunjuk pembantu presiden setingkat menteri untuk mengelola otoritas pajak.
Rezim orba bahkan rezim yang berkuasa sampai saat ini justru menggunakan cara lain yang kurang melibatkan peran serta masyarakat dengan menempatkan otoritas pajak setingkat lebih rendah dari pembantu presiden.
Beberapa media sudah rame membicarakan usulan opsi-opsi otoritas pajak antara lain :
1.Tim Transisi Usul Pembentukan Badan Khusus Pajak. http://m.news.viva.co.id/news/read/537054-tim-transisi-usul-pembentukan-badan-khusus-pajak
2."Ngebet" Lepas dari Kemenkeu, Tiga Skenario untuk DJP Disiapkan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/13/143101726/.Ngebet.Lepas.dari.Kemenkeu.Tiga.Skenario.untuk.DJP.Disiapkan
3.Presiden baru, timbang lagi pemisahan Ditjen Pajak http://nasional.kontan.co.id/news/timbang-lagi-pemisahan-ditjen-pajak
4.Terpisah dari Kemenkeu, BPN Boleh Bikin Aturan Pajak? http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/13/145124626/Terpisah.dari.Kemenkeu.BPN.Boleh.Bikin.Aturan.Pajak.
5.Rekomendasi Badan Penerimaan Pajak Bagi Pemerintahan Baruhttp://m.news.viva.co.id/news/read/547441-rekomendasi-badan-penerimaan-pajak-bagi-pemerintahan-baru
Dalam 100 hari kepemimpinan Jokowi sudah selayaknya mengikuti pola pikir para pendiri bangsa dengan fokus melakukan perubahan radikal institusi pengelola penerimaan pajak mengingat institusi ini mempunyai peranan yang besar kesuksesan atau kegagalan kepemimpinan Jokowi. Perubahan radikal institusi ini antara lain memberi memberi tambahan wewenang pengelolaan SDM, wewenang pengelolaan keuangan dan wewenang pengelolaan organisasi.
Usulan yang dipilih tidak akan berguna dan berhasil kalau Jokowi tidak mengubah paradigma lama pajak dari kewajiban yang dapat dipaksakan tanpa mendapat balas jasa secara langsung menjadi paradigma baru yaitu kesadaran akan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Pajak dapatlah diibaratkan bagaikan menanam sebulir padi untuk memanen ratusan bulir padi (https://www.youtube.com/watch?v=I_2l7XlcHX0).Jokowi pasti bisa karena Jokowi telah terbukti melibatkan masyarakat untuk membiayai pilpres dengan membuka rekening bank.
Anggaran sebesar 654,408 T tentu lebih dari cukup digunakan oleh Jokowi untuk membebaskan rakyat dari biaya pendidikan mulai usia dini sampai perguruan tinggi melalui program Kartu Pintar, biaya kesehatan dengan Kartu Sehat, dan semua subsidi .
Perbankan juga kecipratan memanfaatkan danapemerintah dengan menekan bunga kredit.
Pembebasan biaya pendidikan dan biaya kesehatan merupakan titik awal merealisasikan revolusi mental yang digagas Jokowi. Revolusi mental membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa pemalu. Dampak biaya pembebasan pendidikan dan biaya kesehatan adalah penyelenggara negara malu melakukan korupsi maupun white collar crime lainnya, Prajurit malu menjual rahasia negaranya, PNS malu menyalahgunakan wewenang atau jabatannya. Penegak hukum malu bertindak tidak adil atau melakukan tebang pilih penegakan hukum, Pelaku usaha malu melakukan economic crimes. Profesional malu melanggar norma dan etika profesinya, Calon DPR maupun DPDmalu berpola pikir dagang balik modal kampanye bahkan untung 400 % saat terpilih menjadi anggota dewan terhormat.(http://www.tempo.co/read/news/2014/10/04/078611956/Adian-Napitupulu-Yakin-Modal-Kampanyenya-Balik-Modal). Rakyat Indonesia malu melanggar norma hukum, norma agama dan norma kesusilaan.
Masihkah negara dikelola tanpa melibatkan peran aktif seluruh masyarakat seperti perusahaan yang sibuk mencari pinjaman atau bangga dengan hasil penjualan SUN atau ORIuntuk diwariskan hutangnya ke generasi penerus ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H