Hidup di tengah-tengah kemajemukan masyarakat seharusnya bukanlah hal yang mesti dipermasalahkan sebagai masyarakat Indonesia. Sejatinya terwujudnya bangsa ini bukanlah berasal dari keseragaman melainkan sebaliknya yaitu keberagaman.Â
Kalimat Bhineka Tunggal Ika merupakan salah satu wujud manifestasi dari budaya yang telah mengakar dalam bangsa ini sejak dulu. Namun semua itu berangsur angsur pudar seiring berkembangnya zaman, hal ini menimbulkan kemunduran dalam menyikapi keberagaman yang terkesan tidak sejalan dengan majunya iptek.
Memang tak semua masyarakatakan Indonesia mengalami pengikisan inklusifitas kebudayaan yang sarat akan pluralisme. Masih ada para pluralist yang hidup di bumi ini yang tak jarang mereka harus siap menelan pil pait dari berbagai anggapan masyarakat atau in-groupnya dengan berbagai tuduhan yang cukup menyakitkan. Namun inilah yang harus dirasakan oleh seorang pluralist atas segala konsekuensi yang ia jalani.
Defisit inklusifitas kebudayaan merupakan kondisi di mana tergerusnya perasaan mau menerima keberagaman yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Defisit inklusifitas kebudayaan yang sedang sedikit demi sedikit menampakkan taringnya di Indonesia haruslah segera ditanggapi dengan kembali belajar kepada sejarah akan negeri yang kaya ini, tak sepantasnya kita selayaknya generasi penerus bangsa ikut tergerus ke arus yang menuju ke sebuah kemunkaran.Â
Permasalahan ini tak sepantasnya ditanggapi sebagai persoalan yang remeh, karena jika dibiarkan terus menerus maka arusnya yang cukup deras jika tidak dibendung dengan hati nurani serta mengedepankan jiwa pluralis maka keberagaman yang Tuhan titipkan ini semuanya akan hanyut dan akan hilang ditelan zaman.
Peristiwa semacam ini kebanyakan terjadi pada masyarakat yang memiliki heterogenitas yang tinggi terutama dari segi kultural. Tak jarang tergerusnya inklusifitas dalam kehidupan berbudaya masyarakat dapat membawa dampak yang tak jarang berujung pada perpecahan hingga paling kronis dapat mengundang perang saudara.
Sifat etnosentris dan primordialis lah yang menjadi dalang dari tergerusnya budaya bhineka tunggal ika yang semestinya di pegang dan dijadikan sebagai nilai sosial yang sepenuhnya ditaati dan diyakini sepenuh hati oleh bangsa Indonesia.Â
Pangkal dari penyebab masalah yang berkepanjangan ini bisa disebabkan hanya karena persoalan sepele, misalnya pada saat saat menjelang pesta demokrasi banyak dari kader yang "menjual" agama, latar belakang( suku,ras dan keturunan) sebagai komoditas propaganda untuk mendapat simpati dari rakyat.Â
Hal hal yang terkait isu sara ini yang selalu dipersoalkan dan dipertentangkan baik dari kubu A kepada kubu B dan begitupula sebaliknya, dalam jangka panjang ia akan terus hidup dalam kehidupan masyarakat yang akan membentuk sebuah sifat primordial dan etnosentris. Lahirnya sifat ini membuat masyarakat seakan akan berhati hati terhadap antidotenya yaitu  yang sering disebut out groupnya sehingga tak jarang kebudayaan yang seharusnya syarat akan inklusifitas seakan akan menjelma menjadi budaya yang eksklusif.Â
Eksklusifitas yang ada membuat kemajemukan yang ada seakan akan terkotak kotakkan, segmentasi yang ada ini dapat mengundang perpecahan karena rasa persatuan yang ada berubah terpecah menjadi in-group dan out group yang semestinya satu negara meyakini bahwa tak ada yang namanya in group ataupun out groupnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kecuali ada bangsa lain yang mengusik keamanan dan stabilitas kehidupan NKRI barulah kita melabeli bangsa itu sebagai out group dari kita.