Perpanjangan masa jabatan kades, antara keserakahan atau kepedean
Akhir-akhir ini Indonesia di hebohkan dengan demontrasi para kepala desa yang tergabung ke dalam asosiasi pemerintahan desa seluruh Indonesia (Apdesi) di depan gedung  DPR/MPR RI, demonstrasi ini menuntut untuk dilakukan revisi Undang-undang tentang desa, yang di dalam nya mengatur tentang jabatan kepala desa yang semula 6 tahun di tuntut untuk di naikkan menjadi 9 tahun.Â
Lantas apa yang aneh dari demontrasi ini???, bukankah menyampaikan pendapat ialah hak bagi setiap orang??, tentunya iya, karena hal tersebut di jamin oleh UUD 1945.
Tapi satu hal yang menarik dalam aksi demontrasi tersebut, yakni para kepala desa tersebut mengklaim bahwa tuntutan mereka merupakan tuntutan rakyat. Tentunya banyak rakyat yang dibuat bertanya-tanya oleh klaim yang disampaikan para kades tersebut, "sejak kapan rakyat menginginkan jabatan kepala desa diperpanjang?". Melihat hal tersebut pasti timbul di pikiran kita, apakah ini bentuk keserakahan akan jabatan para kepala desa atau bentuk kepedean para kepala desa?
Sebagaimana kita ketahui jabatan kepala desa merupakan jabatan politik, jabatan yang diperoleh dari hasil pemilihan yang bersifat langsung, Â artinya kepala desa ini di pilih langsung oleh masyarakat di desa tersebut dan masyarakat desa tersebut berhak menentukan siapa kepala desa mereka untuk selanjutnya.Â
Maka tidaklah etis rasanya apabila seseorang kepala desa yang masih menjabat tiba-tiba menuntut agar masa jabatannya diperpanjang dengan landasan bahwa itu merupakan tuntutan rakyat.Â
Seharusnya kepala desa memaksimalkan kinerja mereka selama 6 tahun pertama, Â jikalau masyarakat setempat merasa kinerja kepala desa ini telah dilaksanakan dengan baik tentunya masyarakat akan memilih kembali ia untuk periode selanjutnya.
Tuntutan para kepala desa untuk memperpanjang jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan bisa dipilih hingga periode ketiga, tidaklah baik  untuk sebuah negara yang pasca Reformasi dan menganut sistem demokrasi. Karena apabila tuntutan tersebut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka akan hanya akan menimbulkan beberapa efek negatif, di antaranya yaitu :
Meningkatkan potensi korupsi di tingkat pemerintahan desa
Telah menjadi rahasia umum saat ini bahwa untuk mendapatkan jabatan kepala desa, para calon kepala desa tak segan-segan untuk mengeluarkan ongkos politik yang nilainya sangat fantastis, hal tersebut terjadi karena para calon kepala desa tergiur akan dana desa yang nilainya saat ini mencapai 1 Milyar lebih. Maka perpanjangan masa jabatan hanya akan membuat kepala desa leluasa untuk mengatur dana desa guna mengembalikan ongkos politik yang telah ia keluarkan.Â
Memunculkan dinasti politik di tingkat bawah
Dengan perpanjangan jabatan kepala desa hingga 9 tahun dan dapat dipilih untuk periode ketiga sehingga total ia akan menjabat mencapai 27 tahun. Melihat lamanya masa jabatan tersebut maka akan melahirkan Dinasti politik, karena sebelum ia selesai menjabat pastinya ia akan menyiapkan calon pengganti dari keluarganya bahkan bisa dari anaknya sendiri. Dan politik Dinasti seperti ini hanya akan membuat demokrasi berjalan di tempat.
Selain efek yang kita sebutkan di atas, masih banyak efek yang akan ditimbulkan apabila masa jabatan kepala desa diperpanjang hingga 9 tahun. Tetapi dari fenomena ini kita melihat bahwa tuntutan para kepala desa ini tidak lebih karena haus akan kekuasaan atau kata lain serakah, sehingga ia merasa pede bahwa apa yang mereka tuntut ini merupakan keinginan rakyat.Â