Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, "Negara boneka bikinan Van Mook." Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat wakil presiden merangkap perdana menteri. Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru. Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus.
Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia". Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi: "Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945". Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republiken dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa: lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.
Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst. Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompromistis. Dia menyarankan semua negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya. Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.
Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak. Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. Kemudian Mosi Integral Natsir dijadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi (Tempo, 2016).
Natsir memandang Negara merupakan suatu Institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Pengertian institusi tersebut bagi Natsir merupakan suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum. Menurut Natsir, syarat berdiri suatu badan atau organisasi memiliki tujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di bidang jasmani maupun rohani, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan, norma dan nilai-nilai tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya, memberikan hukuman setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan. Oleh karena itu, berdirinya suatu negara sebagai sebuah Institusi haruslah memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, Undang-Undang Dasar, sumber hukum dan aturan-aturan lainya. Dengan kedudukan tersebut, maka menurut Natsir negara memiliki cakupan sebagai berikut: 1) meliputi seluruh masyarakat dan segala Institusi yang terdapat didalamnya, 2) mengikat atau mempersatukan Institusi-institusi tersebut dalam suatu peraturan hukum, 3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat, 4) memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti peraturan-peraturan dan hukum yang ditentukan olehnya, 5) mempunyai tujuan untuk memimpin, memberikan bimbingan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Berdirinya Negara tersebut menurut Natsir bukan sebagai tujuan utamanya, tetapi alat untuk menjamin supaya aturan-aturan yang terdapat dalam Al Qur'an dan sunah nabi Muhammad SAW. Dapat berlaku dan berjalan sebagai mestinya. Semua perintah Islam ini tidak akan berarti bila tidak disertai oleh alat. Natsir menempatkan tujuan utama dari berdirinya Negara adalah kesempurnaan berlakunya Undang-Undang Ilahi baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, atau yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka (Badri, A, 2020).
Natsir yang mewakili Islam, berusaha menentang arus sekularisme yang dihembuskan nasionalisme sekuler yang diwakili Ir. Soekarno. Melalui kumpulan tulisannya yang berjudul Persatuan Agama dan Negara Muhammad Natsir menyangkal argumentasi Ir. Soekarno yang dimuat dalam artikel Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara. Dengan dipublikasikannya Persatuan Agama dan Negara tersebut Natsir memulai perjuangannya untuk memperkenalkan pemikiran politiknya dalam menjadikan Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perpolitikkan Indonesia. Dalam berbagai kesempatan dan media beliau tak putus-putusnya untuk memperkenalkan pemikiran politik Islamnya (Iskandar, I, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Badri, A, 2020. Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara. Ri'ayah, Vol. 5, No. 02, Juli-Desember 2020.