M. Sadli Umasangaji
Bila nama Pramoedya yang disebutkan, apa yang akan terlintas? Pramoedya Ananta Toer dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pram, begitu dia akrab disapa, telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Seperti kata-katanya dalam Bumi Manusia, "Selamanya tentang manusia, kehidupannya bukan kematiaannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kiranya katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput". Mengenang Pram adalah membaca sastra perlawanan.
Pram dan Sastra Perlawanan
Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sebabitulah sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untukmenumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa sosialtertentu (Darmono, 2002 dalam Sulton, 2015). Seperti tulis Pram dalam Bumi Manusia, kata Magda Peters, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjaanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai".
Paham realisme sosialis telah mengilhami Pram yang sering kali melahirkan pemikiran yang kritis terhadap apa yang sedang terjadi saat itu. Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat dirasakan dalam karya-karya Pram. Karena dalam novel Pram, bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata. Namun karya-karya Pram juga lahir berdasarkan realitas yang ada.
Istilah Realisme Sosial pertama kali muncul di Uni Soviet pada awal abad dua puluh dengan pelopornya adalah Maxim Gorky. Selepas dari penjara (karena menantang pemerintah dalam peristiwa "Minggu Berdarah"), Maxim Gorky menjadi salah satu pengelola penerbitan koran Bolsjewik (Hidup Baru) yang langsung di bawah kendali Lenin. Di masa itulah Lenin melihat bahwa pentingnya kekuatan kultural, terutama sastra, dalam perjuangan menegakkan sosialisme. Pada saat itulah pula Lenin merumuskan hubungan antara sastra dan politik: "Kegiatan sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat, menjadi roda dan sekrup kesatuan besar mekanisme sosial-demokratik, yang digerakkan oleh seluruh barisan depan kelas pekerja yang mempunyai kesadaran politik. Kegiatan sastra harus menjadi unsur daripada garapan partai gabungan sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana" (Toer, 2003 dalam Suyatno, 2011).
Kemudian istilah ini baru diumumkan pada tahun 1934 di hadapan Kongres I satrawan Soviet di Moskwa, melalui ucapan Andrei Zidanov:"Dalam pada itu kenyatan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis".
Sastra sosialis Indonesia timbul dari orang-orang Indonesia yang berjiwa sosialisme yang dilahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sediri yang menderita keadilan sosial, mula-mula naluri bertahan terhadap kematian yang disebabkan karena kezaliman social, dan kemudian pada ia atau mereka yang mempunyai kegiatan atau rutin kreasi menyalurkannya ke dalam cerita-cerita, yang pada pokoknya memperingatkan orang, bahwa kezaliman sosial yang tengah berlaku tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi, kalau masyarakat tidak hendak jadi binasa karenanya.