Pada masa Jahiliyah para pedagang mulai menumpuk-numpuk harta dengan mengabaikan norma-norma kesukuan. Budaya merkantilis lalu menebarkan bayangannya hingga menutupi budaya kesukuan. Fakir, miskin, dan anak-anak yatim tidak dihiraukan lagi, sehingga mulai timbul ketegangan sosial. Diantara golongan masyarakat lemah ini tumbuh rasa tidak senang kepada orang-orang kaya. Nabi merasa sangat sedih melihat kondisi masyarakat yang seperti ini.
Dalam bukunya, Asghar Ali Engineer menuliskan, Al-Qur'an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang kaya saja. Al-Qur'an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas.
Sebuah Narasi Kesadaran
Pada asasnya ini adalah narasi. Sebagaimana gagasan Murtadha Muthahhari, "Gerakan sosial haruslah bertumpu pada gerakan pemikiran dan kultural atau ia akan terjerumus dalam perangkap gerakan yang memiliki landasan budaya dan luluh di dalamnya sehingga berubah arah tanpa bisa dicegah". Disisi lain Gramsci meneguhkan, "Tak ada organisasi tanpa pemikiran, dengan kata lain, tanpa pengorganisir dan pemimpin, tanpa aspek teoretis dari kesatuan teori-dan-praktik yang dalam kongkretnya terwujud dalam strata orang-orang yang 'berspesialisasi' dalam elaborasi konseptual dan filosofis".
Marx mengatakan agama itu candu bagi masyarakat. Harus dipahai bahwa pernyataan ini bukan semata-mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Marx menganggap agama sebagai candu dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka harus menjadi senjata ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi.
Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi. (Engineer, 2009).
Qutbh melakukan kritikan kepada Marxis, "Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah".
Oleh karena itu, kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner. (Engineer, 2009).
Dalam pembacaan 'kiri', gagasan kebudayaan dalam Islam, yang menjadi inti revolusi, tak lain akan mendorong kesadaran progresif yang akan membongkar segala bentuk kepalsuan dari kapitalisme. Selain itu, sumbangan Marxisme sangat penting untuk dipakai oleh gerakan Islam karena memberi pelajaran berharga untuk melakukan sistematisasi terhadap fakta maupun gejala-gejala sosial yang tumbuh.
Pada asumsinya kita akan menggunakan pendapat gerakan Mujahidin Khalq, kami mengatakan 'tidak' untuk filosofi Marxis terutama ateisme. Akan tetapi, kami mengatakan 'ya' untuk pemikiran sosial Marxis, khususnya analisisnya tentang feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme.
Revolusi sosial mungkin jawaban yang tidak sempurna, tetapi melalui jalur inilah, agama mengambil bentuk keberpihakan yang jelas. Untuk apa harus menggunakan Islam Kiri? Pertama-tama karena kategori 'kiri' akan mendorong ummat untuk belajar lebih banyak mengenai materialism historis yang bisa dijadikan alat analisis persoalan yang sekarang sedang dialami, yang kedua, kiri adalah kategori yang akan mengembalikan 'iman' dalam perseteruannya dengan para penindas. 'Iman' akan dihadapkan dengan kezaliman maupun kekuasaan otoriter yang kini menjadi 'tuhan' baru. (Prasetyo, 2014).