Remaja Putri dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan Sebagai Bagian dari Tantangan Akumulasi Isu Stunting
M. Sadli Umasangaji, S.Tr.Gz
Masalah kesehatan dan gizi di Indonesia pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi fokus perhatian karena tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak, melainkan juga konsekuensi kualitas hidup individu yang bersifat permanen sampai usia dewasa. Timbulnya masalah gizi pada anak usia di bawah dua tahun erat kaitannya dengan persiapan kesehatan dan gizi seorang perempuan menjadi calon ibu, termasuk rematri (Kemenkes, 2018).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD (standar deviasi) (stunted) dan kurang dari -- 3SD (severely stunted) (Sekretariat Wakil Presiden, 2018).
Peran Remaja Putri dalam 1000 HPK
Status gizi serta kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan periode sensitif (Tim Penyusun Dokumen 1000 HPK, 2013). Stunting tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil dan anak selama 1.000 HPK, tetapi juga dipengaruhi oleh gizi ibu pada periode sebelumnya, terutama pada periode pra konsepsi yaitu wanita usia subur dan remaja (Sekretariat Wakil Presiden, 2018).
Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) yang disebabkan kekurangan gizi kronik yang berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak tepat. Faktor-faktor penyebab potensial pada balita perawakan pendek meliputi faktor ibu, faktor anak dan lingkungan. Faktor ibu antara lain ibu pendek, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kenaikan berat badan yang rendah selama kehamilan berhubungan dengan kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Ibu pada masa prakonsepsi yang memiliki TB <150 cm, BB <43 kg, IMT <17.5 atau IMT <18 kg/m2 berisiko tinggi memiliki anak stunting pada usia dua tahun (Kemenkes, 2022).
Pada konteks ini terlihat jelas bahwa remaja putri merupakan masa penting sebagai masa persiapan atau masa pra konsepsi. Dimana remaja putri akan tumbuh menjadi wanita dewasa yang memiliki kemungkinan untuk menjadi ibu hamil. Sedangkan faktor ibu adalah faktor penting dalam masalah gizi. Faktor ibu dipengaruhi dari masa ketika menjadi remaja putri. Dalam konteks tertentu remaja putri yang pendek memungkinkan untuk menjadi ibu hamil dengan tinggi badan yang sama.
Tinggi Badan Saat Remaja, Tantangan Akumulasi Isu Stunting
Secara postur tubuh atau perawakan tubuh yang dikhawatirkan adalah tidak terputusnya perubahan tinggi badan pada usia balita yang pendek dan cenderung memberikan dampak menjadi remaja serta dewasa dengan tinggi badan yang tidak maksimal. Isu stunting selain mencegah perawakan pendek pada balita juga merupakan langkah untuk memberikan perubahan tinggi badan pada usia remaja dan dewasa. Dengan maksud misalkan bahwa bisa jadi ada balita dengan perawakan pendek tapi kemudian dapat memaksilkan perubahan tinggi badan pada usia remaja hingga batas usia tinggi badan stagnan.