Mohon tunggu...
Masludi 0000
Masludi 0000 Mohon Tunggu... -

CMD

Selanjutnya

Tutup

Politik

Over Dosis Kekuasaan Dalam View Era Demokrasi Kebablasan

7 Februari 2014   07:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era demokrasi, setiap orang memang berhak memburu kekuasaan. Akan tetapi, ketika sebuah keluarga kelebihan dosis untuk berkuasa, yang terjadi kekuasaan seperti di kerajaan. Dengan kekuasaan itu, mereka menumpuk harta dan menimbun kekayaan.

Over dosis kekuasaan di beberapa daerah di Indonesia pun terpapar virus politik dinasti demi menjadi raja-raja kecil. Politik dinasti ialah pupuk yang menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Ia racun yang mematikan check and balance, sesuatu yang amat dibutuhkan di iklim politik koruptif saat ini.

Oleh karena itu, kita menyokong dan mendorong upaya pemerintah untuk mengakhiri politik dinasti melalui revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam revisi itu diatur seorang calon kepala daerah tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Politik dinasti ialah benalu yang menggerogoti demokrasi, membuatnya sakit, dan mematikan. Sudah saatnya kita memberangus praktik itu.

Banyak aktivis, pengamat dan akademisi yang sangat vocal ketika masih berada di luar lingkaran kekuasaan namun jadi fals dan bisa setelah berkuasa. Banyak akitivis, pengamat dan akademisi yang dulunya sangat kritis menilai dan tajam dalam memberi kritikan akhirnya menjadi sangat krisis dalam menghasilkan nilai dan tumpul dalam mencermati persolan setelah berada dalam ruang kekuasaan. Kenapa mereka yang dulunya sangat cerdas memberi masukan sebelum berkuasan namun setelah menjabat kekuasaan malah menjadi impoten setelah berkuasa.

Banyak tokoh-tokoh yang dulunya sangat pro-demokrasi, pro-rakyat kecil namun setelah berkuasan malah berbalik dan akhirnya malah bersebrangan dengan demokrasi dan rakyat.Kekuasaan seperti obat karena obat bisa digunakan sebagai bahan penyembuh. Namun dari sisi yang lain obat juga bisa disalahgunakan sehingga fungsi utama untuk menyembuh beralih menjadi alat pembunuh. Lihat saja mereka yang meninggal karena salah makan obat atau dipaksa memakan obat yang salah.

Kekuasaan sebagai obat bisa sangat bermanfaat untuk membangun bangsa sebagai sebuah nama dan membangun rakyat sebagai sebuah nyawa. Kekuasaan berperan penting untuk membuat kebijakan pembangunan dalam negeri dan bahkan untuk membuat kebijakan luar negeri. Kekuasaan yang telah diberi kepada yang memangkunya bisa menentukan pilihan strategis untuk mempercepat pembangunan dan penyejahteraan rakyat. Namun, sebaliknya ditangan sang pemangku kekuasaan penderitaan, kemiskinan, dan kemunduran nilai moral suatu bangsa bisa segera terwujud.

Secara nyata kita bisa melihat penyalahgunaan obat. Banyak menggunakan obat yang besenarnya memiliki fungsi medis tapi malah digunakan untuk kongko-kongko. Obat yang seharunya ada dirumah sakit, ditangan dokter atau ditangan pasien, tapi malah sudah berada di diskotek atau ditangan mereka yang lagi dugem. Akhirnya, sebagian contoh kecil semisal kita menggunakan obat berlebihan dan tanpa resep dokter dengan dosis obat yang berlebihan tanpa pengawasan tim medis otimatis tubuh kita bereaksi tidak maksimal dan berujung dengan kematian akibat overdosis obat. Penguasa/pemimpin juga demikian, meyalahgunakan kekuasaan berakibat pada banyaknya rakyat yang menderi dan mati dalam kesengsaraan.

Kekuasaan sebagai obat sangat bisa bermanfaat untuk membangun bangsa sebagai sebuah nama dan membangun rakyat sebagai sebuah nyawa. Kekuasaan berperan penting untuk membuat kebijakan pembangunan dalam negeri dan bahkan untuk membuat kebijakan luar negeri. Kekuasaan yang telah diberi kepada yang memangkunya bisa menentukan pilihan strategis untuk mempercepat pembangunan dan penyejahteraan rakyat. Namun, sebaliknya ditangan sang pemangku kekuasaan penderitaan, kemiskinan, dan kemunduran nilai moral suatu bangsa bisa segera terwujud.

Karena itu, sebagai obat, kekuasaan itu harus punya resep. Kekuasaan pada hakikatnya punya aturan pakai. Jika si pemegang amanah kekuasaan tidak mengindahkan resep sebagai acuan dalam mengkonsumsi kekuasaan, maka bukan alang-kepalang, rakyat yang sakit bukannya malah sembuh melainkan makin parah, negara yang krisis bukannya makin terbangun namun malah terkapar. Sesuai dengan resep, obat itu punya dosis. Jadi bak obat, kekuasaan itu juga ada dosisnya. Kalau makan obat namun kekurangan dosis, akhirnya timbulah penguasa yang memble, peragu dan penakut yang membuat rakyat jadi terkatung-katung.

Sebaliknya, kalau kekuasaan itu digunakan sampai over dosis, munculah penguasa yang diktator dan otoriter. Kekuasaan yang over dosis ini bukan hanya berbahaya pada diri si empunya kekuasaan tapi juga berbahaya kepada orang lain. Lihat saja mereka yang menggunakan kekuasaan sampai keluar batas, rakyat akhirnya jadi tumbal keuasaan dan bisa dikatakan rakyat hanya jadi objek kekusaan yang walau seharusnya adalah subyek kekuasaan.

Selain aturan pakai, kekuasaan sebagai obat juga punya indikasi. Indikasi itu pada hakikatnya digunakan sebagai acuan fungsi penggunaan obat. Melalui indikasi inilah kita bisa tahu apakah jenis obat itu pas atau tidak untuk digunakan sebagai penyembuh. Namun sebagai obat, kekuasaan bisa salah guna jika salah melihat indikasi. Kita lihat saja kasus bank Century yang tidak berujung. Persoalan penyelesaian bank Century masih sebatas pada perdebatan indikasi krisis pada dunia perbankan dan kerepon penegak hukum dan pihak terkait dalam melihat indikasi pelanggaran pemegang kekuasaan ekoanomi masa itu.

Untuk mencegah kesalahan seperti itu, kekuasaan sebagai obat juga punya kontra indikasi. Kontra indikasi ini sangat penting apabila si pasakitan punya rekam medis pada penyakit tertentu. Dalam hal kesalahan kontra indikasi atau kesengajaan mengabaikan kontra indikasi, sering malah kebijakan untuk persoalan yang berbeda tetap sama. Kita melihat contoh penyelesaian konflik pemilukada yang banyak rusuh. Kebijakan penyelesaian sengketa pemilukada yang hampir mirip-mirip tanpa melihat kontra indikasi di daerah sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan malah merambas kepada keamanan dan ketertiban daerah itu.

Kemudian, selayaknya obat, kekuasaan juga memiliki efek samping. Kita bisa melihat banyaknya efek samping kekuasan seperti penyakit sindrom pasca kekuasaan, sindrom penguasa lama, dan bahkan bisa sampai jadi penyakit gila kekuasaan. Kenikmatan, kemewahan dan kehormatan di singga sana kekuasaan sering berefek samping kepada orang-orang yang akhirnya mengalami depresi, kehilangan dan merasa terasing setelah lengser dari jabatan. Yang paling menyedihkan adalah bermunculan orang yang sampai gila karena tidak berhasil jadi anggota dewan yang konon katanya dihormati.

Penggunaan kekuasaan juga harus melihat masa atau periode. Banyak penguasa yang sudah kelamaan, kemudian keasyikan dan akhirnya kelupaan kalau seharusnya dia sudah harus mundur. Kita bisa melihat bukan hanya Soekarno, soeharto, tapi juga pemimpin dunia seperti Saddam Husein, Castro, khadafi, Husni Mubarok dan lain-lain. Sipengguna obat kekuasaan ini seharusnya melihat masa berlaku obat. Kalau sudah “expired” (kadaluarsa) seharunya segera diganti dengan obat yang baru. Jangan sampai terguling atau terbunuh sekalian hanya karena mau mempertahankan obat ini.

Sedikit berbalik ke dosis obat, sebenarnya obat itu punya takaran untuk dewasa dan anak-anak. Hal ini harusnya menjadi pertimbangan kepada para bapak-bapak pemegang hak legislasi. Sudah saatnya kekuasaan kejaksaan, pengadilan dan kehakiman membedaakan perlakuan untuk pelanggar aturan hukum yang dewasa dan anak-anak. Sangat tidak sesuai beban kalau mereka yang masih anak-anak harus menjalani proses hukum selayaknya orang dewasa. Hendaknya penggunaan dosis kekuasaan itu di pilah untuk yang sudah punya KTP dan yang belum.

Selanjutnya, obat itu juga punya peringatan. Peringatan seprti label obat keras, harus sesuai resep dokter, dan lain-lain. Atau, ada juga peringatan jauhkan dari jangkauan anak-anak. Peringatan seperti ini juga berlaku bagi para calon pemegang kuasa. Memang sangat sulit mempercayakan kekuasaan kepada mereka yang belum dewasa atau belum matang. Dengan kata lain orang-orang seperti ini tentu akan mengalami “jet leg” kekuasaan. Kita lihat saja tokoh-tokoh yang tiba-tiba muncul dan langsung besar bukankah langsung terhantam badai dan tiba-tiba menggenggam kekusaan. Namun, pada akhirnya mereka jadi tersandung kasus hukum bahkan ada yang sudah terjerembab. Sedemikian halnya juga dengan partai yang tiba-tiba berkuasa. Mereka terlihat seperti anak-anak kecil yang panik dengan gelombang tsunami politik. Jadi, bagi yang memegang kekuasaan, lihat-lihat dulu sebelum menyerahkan sebuah kekuasaan. Sebaliknya, yang mau berkuasa, mikir-mikir dulu, apa sudah cukup umur untuk mengkonsumsi obat kekuasaan itu.

Selain menjauhkan dari anak-anak, obat juga sering punya peringatan penyimpanan. Obat sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk, suhu kamar dan jauh dari sinar matahari. Seharusnya memang kekuasaan itu ditempatkan ditempat yang sejuk yakni iman yang terjaga dengan suhu politik yang ideal dan jauh sengatan sinar dan gemerlanya kemewahan. Harus dengan jujur diakui, kekuasaan itu harus berada ditangan mereka yang secara keimanan, integritas, dan loyalitas yang mumpuni. Selain itu kekuasaan itu harus terjaga dalam suhu politik yang stabil dan terkendali. Dan yang terpenting, silaunya kemewahan, gaya hidup hedonis, serta pola pikir yang konsumtif harus jauh dari para pemegang kekuasaan. Kalau tidak, bisa-bisa kekuasaan itu hanya ditempatkan untuk menggapai harta dan kepuasan material.

Sebagai masyarakat awam yang mengenal obat hanya karena menggunakan bukan karena mempelajari secara medis, saya melihat secara analogi ini sangat erat. Sebagai orang yang juga sangat asing dengan kekuasaan, karena memang bukan penguasa, saya melihat banyak penguasa negeri ini yang tidak jauh beda dengan mereka yang sakau kekuasaan atau ketergantungan pada obat.

Sebagai rakyat biasa, hendaklah engkau para penguasa menggunakan kekuasaan untuk kesejahteraan dan kemajuan kita. Kami rakyat tidak berharap sejahtera namun pemimpinnya menderita. Sebaliknya, kami juga iri kalau engkau hidup dalam kemewahan tapi kami menderita dalam hidup yang sengsara. Makanlah obat itu. Sembuhkanlah dirimu, sembuhkan juga kami. Karena itu, wahai para penguasa, jika sakit berlanjut segera hubungi “dokter”.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun