Mohon tunggu...
Ms  Tina
Ms Tina Mohon Tunggu... Guru - I am a rural teacher

Pendidikan = jantung pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengajar Memberi Hidup

23 Januari 2024   15:51 Diperbarui: 23 Januari 2024   16:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu penghambat sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas diri adalah masalah pendidikan. Di pedalaman Indonesia, mutu pendidikan masih sangat rendah meskipun sudah banyak komunitas sosial maupun gerakan sosial oleh missionaris yang berfokus pada peningkatan masalah pendidikan di pelosok Indonesia. Banyak hal yang menjadi faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di pedalaman Indonesia antara lain geografi (jarak rumah dengan sekolah sulit dijangkau serta medan yang sulit seperti harus menyeberangi sungai atau laut tetapi tidak ada transportasi setiap hari), orang tua kurang memahami atau bahkan tidak memahami betapa pentingnya pendidikan, ketiadaan guru yang bersedia untuk mengajar di pedalaman, bahkan sistem pendidikan yang kurang mendapat perhatian pemerintah. 

Faktor tersebut berdampak pada tingginya angka buta aksara. Masih banyak siswa kelas 3-5 SD yang tidak mengenal huruf, tidak bisa calistung tetapi terpaksa naik kelas tiap tahunnya. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh keharusan anak untuk ikut orang tua ke hutan atau ladang mencari bahan makanan seperti sagu, talas dan hewan buruan sehingga anak meninggalkan sekolah dan ketinggalan banyak pelajaran bahkan putus sekolah. Beberapa anak juga mengantuk di dalam kelas dan tidak konsentrasi belajar karena tidak sarapan atau jarang makan.

Selama 3 tahun menjadi guru pedalaman di 3 provinsi yang ada di Indonesia, saya menemukan beberapa permasalahan dan kesenjangan dalam pendidikan nonformal berdasarkan observasi dan wawancara (dialog selama hidup di pedalaman), antara lain:

  • Sekolah formal di pelosok Indonesia tidak mampu menjadi wadah untuk memberantas buta aksara karena berbagai faktor seperti keterbatasan sumber daya, kurangnya keterampilan guru dalam keaksaraan fungsional, tidak ada kurikulum khusus sebagai panduan, keterbatasan fasilitas sekolah seperti ruangan kelas jika siswa harus dikelompokkan dan diajar sesuai kebutuhan masing-masing siswa serta faktor lainnya dari segi kondisi sosial geografis.

  • Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan sehingga masyarakat yang tidak bisa membaca dan berhitung masih menggunakan sidik jari untuk menyetujui suatu perjanjian tertulis. Hal ini berdampak negatif pada banyak aspek terutama kepemilikan harta benda dan hutang piutang.
  • Masih banyak desa yang tidak ada sekolah PAUD sehingga ketika masuk SD sangat terlihat jelas kesenjangan pengetahuan antara siswa yang pernah PAUD dan yang tidak tetapi sekolah formal di SD kurang bisa mengatasi hal ini di dalam kelas.

  • Anak-anak yang dipaksa meninggalkan sekolah berbulan-bulan karena harus ikut orang tua ke hutan untuk menyagu membuat anak kehilangan kesempatan belajar dan bermain dengan sebayanya. Tidak ada ketegasan dan sanksi mengenai hal ini di sekolah formal maka anak yang sudah lama meninggalkan sekolah jika kembali bersekolah akan tetap naik kelas tiap tahunnya meskipun tidak mampu calistung sampai kelas 4 SD.
  • Masyarakat menjual hasil panen pisang mereka untuk membeli pisang goreng di kota padahal seharusnya mereka bisa memasak sendiri hasil panen pisang tersebut. 

  • Dalam hal ini, masyarakat masih mudah terpengaruh oleh perkataan kaum borjuis (tengkulak) yang sudah semakin tinggi mobilitisnya ke pedalaman untuk menyerahkan hasil panen yang tadinya merupakan makanan pokok untuk dijual dengan ganti murah seperti pisang goreng.
  • Anak-anak putus sekolah menjadi pencuri, baik itu mencuri di ladang maupun di rumah-rumah warga untuk memenuhi isi perutnya setiap hari. Tidak hanya mencuri, kenakalan lainnya juga dilakukan karena tidak ada kegiatan yang positif seperti pergi ke sekolah atau kegiatan lainnya.

Adapun solusi yang sudah saya kerjakan untuk menjawab permasalahan di atas adalah dengan hidup bersama-sama masyarakat di sana, berkunjung ke rumah ketua dusun untuk bercerita mengenai kehidupan masyarakat di sana, berpartisipasi dalam kegiatan adat istiadat di desa, turut berbaur dengan aktivitas anak-anak dan remaja seperti ikut ke sungai atau ke hutan. Setelah kehadiran saya diterima di sana dan saya paham kondisi di sana, maka saya meminta izin untuk mengajar di luar sekolah (siang dan malam hari), tentunya perencanaan dan pelaksanaannya sudah saya diskusikan dengan sekolah yang ada di sana sebagai benytuk rasa hormat bahwa tujuan saya bukan untuk menggurui tenaga pendidik lokal tetapi untuk berkolaborasi. 

Kelas siang untuk anak-anak yang buta aksara dan kelas malam untuk anak-anak yang sudah sangat lama meninggalkan sekolah. Saya menggunakan kurikulum SSM dan kurikulum yang saya susun sendiri untuk membuat anak-anak dan orang tua sepakat tetap boleh ikut belajar calistung tanpa meninggalkan budaya menyagu, berburu dan mengambil kayu bakar. Untuk anak yang memiliki kebiasaan mencuri karena tidak makan, ditelantarkan orang tua dan tidak memiliki aktivitas yang positif maka saya berikan kelas khusus di pagi hari dimana kami bersama-sama memasak ubi, pisang, sagu atau nasi, mengambil air dan mencari kayu bakar untuk makan sebelum belajar. Selain mengajar, saya bersama warga lokal mendirikan sekolah PAUD, mengurus perizinan dan setelah perizinan selesai maka yang menjadi pengelola PAUD tersebut adalah guru lokal yang telah menjadi partner saya selama ini. 

Tidak hanya sekolah PAUD, saya bersama anak-anak kelas IV, V dan VI SD membangun pondok baca dari daun sagu untuk atap dan bambu untuk dinding, lemari dan bangku. Kami bergotong royong mendirikan pondok baca tersebut dan untuk buku-buku yang akan digunakan di pondok baca tersebut saya minta dari pendeta ataupun orang tua di kota kecamatan yang di rumah mereka masing-masing mungkin ada banyak buku bacaan yang masih layak pakai.

Mengajar memberi hidup, itu yang saya alami. Pendidikan memiliki peran penting untuk memberdayakan manusia. Melalui pendidikan dan pengajaran yang saya lakukan di luar jam sekolah telah memberi hidup bagi saya dan anak-anak di pedalaman. Mereka bahagia dengan pembelajaran yang saya berikan dan saya bahagia mengajari mereka. Tidak hanya berdampak terhadap anak-anak, para orang tua di sana yang melihat kehidupan saya bersama dengan anak-anak juga memberi ruang bagi mereka melihat bahwa pendidikan itu penting. Perlahan para orang tua di sana saya ajari cara memasak pisang, ubi dan talas selain dimasukkan ke dalam bambu. Saya yang menanam sayuran di pekarangan rumah juga dilihat dan ditiru oleh masyarakat di sana yang tadinya tidak mau makan sayur. Dari interaksi dan pengalaman ini saya belajar banyak kehidupan masyarakat pedalaman, belajar tentang pendidikan adat dan budaya.

Pendidikan tidak berhenti pada tahap ketika peserta didik menerima ilmu lalu mengerti apa yang kita ajarkan. Menurut saya, pendidikan dikatakan berhasil jika dan hanya jika pendidikan tersebut membuat guru dan peserta didik bahagia dalam pengajaran, guru dan peserta didik berpikir dan bertumbuh bersama lalu kemudian guru dan murid menyadari ada daya yang mereka miliki untuk membuat orang lain juga berdaya. Dengan segala keterbatasan di pedalaman, saya memanfaatkan potensi lokal sebagai media pembelajaran seperti ranting pohon untuk membuat pohon baca, bambu kecil dipotong untuk membuat sempoa berhitung, pewarna alami dari dedaunan untuk belajar pengenalan warna dan lain sebagainya. Anak-anak yang sudah merasakan bahagianya ketika bisa membaca selalu mengajari kembali adik, saudara bahkan orang tua mereka di rumah supaya mampu membaca merk pupuk yang diberikan oleh pemerintah, mampu membaca tulisan yang ada di baju mereka bahkan pernah beberapa orang tua memberikan saya Pisang dan Nenas sebagai bentuk ungkapan terima kasih karena orang tua tersebut akhirnya bisa menuliskan nama anaknya dan membaca nama-nama lainnya untyuk dituliskan kembali.

Meskipun seorang sarjana pendidikan, saya mengosongkan diri saya  ke pedalaman. Artinya saya datang bukan sebagai seorang yang lebih pintar dari masyarakat di sana, bukan sebagai seorang yang sudah pasti membuat perubahan besar atau bahkan seorang yang lebih terpelajar dibandingkan mereka. Bertolak belakang dari itu semua, saya ibarat gelas kosong yang setibanya di pedalaman harus ke rumah pemerintah desa untuk memperkenalkan diri dan tujuan, bertanya dimana saya  boleh tinggal di salah satu rumah warga atau ruangan kosong di sekolah lalu menemui kepala sekolah ungtuk meminta izin dan meminta pendapat apa yang bisa saya kerjakan di sekolah yang dipimpin oleh beliau. Saya sadar saya memiliki ide, saya memiliki ilmu dan pengalaman tetapi apa gunanya itu semua jika ternyata yang mereka butuhkan bukan apa yang sudah saya persiapkan. Maka penting untuk berbaur dan melebur dengan masyarakat untuk pertama-tama kehadiran kita diterima lalu melalui dialog yang prosesnya panjang memutuskan apa yang akan dikerjakan bersama-sama. Di hari kedepannya, masyarakat sendiri lah yang menilai dan mengevaluasi kebermanfaatan ide, gagasan dan program kita karena melalui apa yang kita perlihatkan, lakukan dan ajarkan mereka sudah menyadari bahwa mereka dan kita adalah manusia yang tidak akan pernah selesai dengan sebuah perubahan.

Pada buku pendidikan kaum tertindas, Freire menuliskan bahwa penindas maupun yang ditindas tidak sadar dengan apa yang sedang terjadi atau dilakukan. Suatu perbuatan menindas hanya jika seseorang menghalangi seorang lainnya untuk hidup lebih manusiawi. Dari pengalaman saya, melihat dan merasakan kondisi pendidikan di pedalaman Indonesia maka menurut saya perlu adanya sebuah program pendidikan nonformal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedalaman di Indonesia. Dengan menerapkan Problem-Posing Method dalam pendidikan nonformal di pedalaman Indonesia, dapat diharapkan bahwa pembelajaran akan menjadi lebih inklusif, kontekstual, dan memberdayakan peserta didik untuk mengatasi tantangan keaksaraan, kesetaraan serta berkontribusi pada peningkatan tingkat literasi di komunitas pedalaman. Problem-Posing Method mendorong dialog timbal balik dan penghargaan terhadap berbagai perspektif. 

Dalam konteks keaksaraan di pedalaman Indonesia yang kaya akan keanekaragaman budaya, pendekatan ini dapat membantu mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam pembelajaran keaksaraan, membuatnya lebih relevan dan dapat diterima oleh peserta didik. Teori problem-posing menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi lebih pada pemahaman kritis terhadap dunia dan kemampuan peserta didik untuk mengambil tindakan untuk mengubah realitas mereka. Pendekatan ini menciptakan atmosfer pendidikan yang demokratis, memandang pendidikan sebagai suatu upaya bersama untuk mendorong partisipasi aktif peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, teori problem-posing mendorong transformasi sosial dan pemberdayaan individu untuk bertindak sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Praktik dari pendekatan tersebut sangat cocok di pedalaman Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun