Di Indonesia, Â cabai merupakan primadona pada setiap hidangan. Cabai seolah merupakan bumbu utama kedua setelah garam untuk banyak masakan. Dengan selera dan kebiasaan makan orang Indonesia, cabai akan tetap dicari meski harganya yang sering meroket tinggi.Â
Menurut catatan sejarah, cabai sudah menjadi komoditas perdagangan penting di nusantara semenjak masa Jawa Kuno. Siklus naiknya harga cabai pun terjadi setiap tahun. Tercatat sejak 5 tahun terakhir, Â selalu ada satu musim kenaikan harga cabai menembus angka 200%. Harga cabai mencapai Rp 50.000,00/kg pada September 2013, Rp 55.000,00/kg pada November 2014, Rp 65.000,00/kg pada Agustus 2015, Rp 80.000,00/kg pada Maret 2016, dan kini Rp 100.000/kg pada Januari 2017.
Kenaikan harga cabai tentu disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya yaitu faktor cuaca. Anomali musim menyebabkan produktifitas cabai menurun sehingga sering kali petani gagal panen. Selain itu selama ini harga cabai selalu ditentukan oleh tengkulak. Sangat rawan terjadi spekulasi tengkulak.Â
Pendistribusian cabai juga harus mendapatkan perhatian dari pemerintah. Â Tak jarang penyetor memilih menjual stok cabainya ke daerah dengan harga tinggi sehingga beberapa daerah mengalami kekurangan pasokan sedangkan permintaan tetap tinggi. Â Lemahnya regulasi pengaturan harga oleh pemerintah menjadikan petani mendesak pemerintah agar bergerak ikut mengendalikan harga cabai di tingkat petani. Sebab, selama ini harga dan nilai komoditas cabai sangat fluktuatif dan tak bisa diduga.
Namun apakah kenaikan harga cabai yang terjadi setiap tahun tidak dapat dicegah sebelum dikeluhkan banyak pihak?Â
Mari kita sedikit menimbrung obrolan ibu-ibu pada pedagang sayur yang tak lepas dari harga cabai sebagai buah bibir akhir-akhir ini.Â
"Satu ons lima ribu, Â Mas. Â Minimal beli satu ons," ujar Sri Harsi, pedagang sayur di daerah Karangbendo, Â Banguntapan, Â Bantul. Saking mahalnya, cabai seolah menjadi barang eksklusif dengan minimal pembelian.
Pemilik warung makan juga harus memutar otak untuk tetap menjual makanan tanpa mengalami kerugian. Seperti penjual bakso di bawah Fly Over Janti, Â Yogyakarta yang mencoba mencampur sambal dengan kuah hingga encer. Hal ini dilakukan untuk mengakali agar tak terlalu banyak cabai yang dibutuhkan untuk membuat sambal.
"Ya dicampur sama cabai hijau juga, Â Mas. Â Yang mahal kan cabai rawit, sing penting masih pedes." Saifudin, Â pedagang bakwan kawi di bawah Fly Over Janti menjawab sembari tertawa.Â
Bahkan pedagang gorengan di pinggir jalan Solo kini sedikit pelit menambahkan cabai ke pembeli. Satu plastik gorengan seharga Rp 10.000 kira-kira hanya akan mendapakan bonus 5 buah cabai rawit. Tentu bagi penyuka pedas akan terasa hambar menikmati gorengan tanpa cabai di tangan.Â