Lalu mengapa ke empat poin singkat diatas ada? jawabannya sederhana karena masyarakat Indonesia terlalu eksklusif, fundamentalis, dan anti-plural. Jika rakyat tidak mau melepas sikap tertutup maka tidak mungkin ada dialog antar golongan. Memang ada dialog tetapi didasari oleh semangat fundamentalis demi mencari kelemahan tidak akan membawa perdamaian melainkan rasa benci karena saling melucuti kekurangan. Anti plural sebagai acuan dimana ketakutan muncul bahwa ideologi tertentu tidak akan spesial lagi tidak ada semangat triumfalisitik lagi karena semua ideologi sama saja, egaliter, dan bahkan tidak ada yang lebih unggul. Hal-hal inilah yang menjadi akar penyakit ideologis dimana kesalahan berpikir muncul.
Perdamaian sebenarnya merupakan sesuatu yang sederhana tetapi oleh karena buruknya pemikiran menjadi hal yang kompleks. Berhentilah mengatakan bahwa konflik karena disengaja oleh pemerintah demi mengalihkan isu, menguatkan kekuasaan, dan lain-lain. Pertanyaannya apakah pengalihan isu dengan konflik horizontal akan mudah terjadi apabila sikap diatas di eleminasi? Untuk itulah rakyat butuh pertobatan berpikir.
Membuang sikap eksklusif dengan menggantinya sebagai sikap inklusif yang terbukan dan menerima tanpa perlu harus menjadi kaum relatif. Penting untuk terbuka tetapi tetap menghargai apa yang dipercaya. Keterbukaan bukan berarti menerima perbedaan lalu melepas apa yang diyakini! Bukan semacam itu. Terbuka dalam hal ini mengarah pada paham pluralisme lebih baik karena bukan hanya sekedar mengakui dan menerima tanpa ada relasi sebagaimana dalam kosmopolitanisme, tetapi menerima dan mewujudkan relasi diantara golongan. Relasi yang dibangun bukan atas semangat fanatisme-fundamentalis karena jika demikian tidak akan ada keterbukaan sebab yang jaringan atau hubungan yang dibangun hanya kepada mereka yang berbeda namun sepaham tetapi mereka yang tidak sepaham dikesampingkan.
Pertobatan pemikiran sosial semacam ini akan menjadikan rakyat sebagai pribadi yang tahan provokasi, tidak mudah menjadi pion politik penguasa, dan juga tidak menjadi penghambat pembangunan. Sekali lagi ditegaskan tidak perlu membiasakan untuk mencari kambing hitam atas kebodohan yang dipeliahara sendiri. Mencoba untuk inklusif, tidak fundamentalis, dan menerapkan prinsip pluralisme akan sangat membantu Indonesia untuk lebih banyak menaruh perhatian pada persoalan pembangunan bukan pada konflik horizontal. Sebab apabila konflik horizontal terjadi percuma melakukan proyek pembangunan kalau hanya untuk dibakar, percuma membangun sumber daya manusia yang handal kalau hanya untuk dibunuh.
Sekian tulisan singkat ini dibuat, Semoga berguna.
Salam,
Joshua Maliogha
Penulis adalah mahasiswa Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana- Salatiga (Jawa Tengah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H