Ide tulisan ini muncul setelah membaca cover buku Muhammad Yunus-peraih nobel perdamaian- berjudul “Bisnis Sosial; Sistem kapitalisme baru yang memihak kaum miskin”. Awalnya, judul buku ini terasa aneh karena pemahaman kita selama ini bahwa sistem kapitalisme sangat tidak memihak kaum miskin. Untuk itu, saya coba mengulas hubungan antara bisnis sosial dengan kaum yang selama ini terpinggirkan oleh sistem kapitalisme murni ( kaum miskin). Meski sebenarnya saya belum baca buku tersebut ( buku terbitan baru yang pastinya mahaaal). hehehe.
Agar informasi lebih jelas, saya akan membahas mengenai kapitalisme terlebih dahulu dan selanjutnya mencoba mengulas ‘bisnis sosial’ yang menurut buku yang sempat saya lihat di Gramedia, merupakan bentuk kapitalisme baru atau evolusi dari kapitalisme.
Kejayaan dan keruntuhan kapitalisme
Dari beberapa sumber bacaan yang sempat saya baca, sejarah munculnya konsep tata ekonomi kapitalisme adalah akumulasi kritik terhadap sistem ekonomi Merkantilisme yang merujuk pada tata ekonomi yang dikuasai oleh para kaum borjuis negara. Ada beberapa defenisi kapitalisme. Salah satunya adalah; Sistem perekonomian adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi.
Keberhasilan sistem kapitalisme membuat orang-orang bermodal untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara, baik itu mengeksploitasi lingkungan maupun ‘memaksa’ tenaga kaum buruh. Sudah sejak lama sistem ini dikritik karena membuat ketimpangan ekonomi dunia. Bayangkan; 80% kekayaan dunia dikuasai oleh hanya 20% penduduk dunia. Masuk dikategori manakah anda??.
Selanjutnya, pada dekade akhir 2000-an sistem ekonomi kapitlisme telah menunjukkan tanda-tanda keruntuhan. Konsep ekonomi yang semata memfokuskan tujuan pada pemenuhan keuntungan semaksimal mungkin sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. Untuk menjawab permasalahan tersebut, para pakar ekonomi mencoba mencari sistem ekonomi yang paling layak di masa kini dan masa mendatang. Konsep ekonomi syariah, bisnis sosial-sebagai hasil evolusi dari konsep ekonomi kapital kemudian hadir dan berusaha memberi solusi dari kegagalan kapitalisme yang dianggap dan terbukti semakin membuat jurang antara kaum kaya dan kaum miskin menjadi semakin lebar.
Dibalik keberhasilan kapitalisme, ternyata juga menghasilkan masalah serius. Ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, eksploitasi buruh anak, pengabaian HAM para buruh, dan sebagainya semakin menegaskan bahwa sistem ini tidak berkeadilan dan cepat atau lambat akan memicu penolakan. Pilihannya adalah bertahan dengan sistem ini dan terus ditentang atau melakukan penyesuaian (evolusi) dengan kondisi kekinian dan sesuai tuntutan stakeholder (pemangku kepentingan).
Social Entrepreneurship (Bisnis/ kewirausahaan Sosial)
Kegagalan sistem kapitalis yang mengutamakan pencapaian keuntungan semata, telah membuat para pakar untuk mencari solusi. Akhirnya, telah disadari bahwa dalam era saat ini pemenuhan tujuan ekonomi haruslah diseimbangkan dengan kepedulian sosial, dan menjamin keberlangsungan lingkungan. Jhon Elkington pada tahu 1994 membuat istilah yang popular Triple Bottom Line ; Profit, People, Planet. Melakukan bisnis yang beretika dan menyeimbangkan ketiga tuntutan pada Triple Bottom Line tersebut diatas kemudian menghadirkan konsep Corporate Social Responsibility (tanggung jawab Sosial Perusahaan).
Bisnis sosial hadir sebagai model berbisnis yang tidak hanya mengejar keuntungan bagi perusahaan semata, tetapi juga turut berkontribusi mengatasi masalah sosial dan ekonomi masyarakat, utamanya masyarakat sekitar perusahaan. Hal ini sesuai dengan konsep CSR yang berlandaskan perilaku etis dan pemenuhan kepentingan seluruh pemangku kepentngan.
Defenisi bisnis sosial adalah suatu usaha bisnis yang tujuan utamanya adalah kepentingan sosial, keuntungan dari perusahaan diinvestasikan kembali kedalam usaha untuk kepentingan masyarakat dibandingkan untuk memaksimalkan keuntungan pemegang saham/pemilik (Dept. of Trade and Industry UK, 2002). Secara sederhana, dalam memulai usahanya Wirausaha sosial melihat masalah atau isu sosial sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar dan juga bagi perusahaan/bisnis.Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan semata, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas contoh-contohnya. Sebenarnya, dari dulu sudah ada bisnis sosial telah diterapkan di Indonesia. Salah satunya adalah konsep inti-plasma pada perkebunan kelapa sawit. Untuk membuat perebunan kelapa sawit, perusahaaan diharuskan membuat kebun plasma untuk masyarkat sekitar. Konsep ini menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat lokal terutama masyarakat yang selama ini kurang memiliki akses terhadap sumber ekonomi. Contoh lain yang sangat menginspirasi apa yang dilakukan oleh teman saya dikampus, Bang Onte dan Bang Astan dan kawan-kawannya melalui organisasinya JAUH dan TELAPAK, yang menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di konawe selatan, Sulawesi tenggara. Dulu, masyarakat disana melakukan illegal logging yang mengancam keberadaan hutan. Organisasi tersebut hadir menyelesaikan masalah illegal logging namun tetap memberi peluang penghasilan bagi masyarakat. Konsepnya dengan cara membuat pengelolaan tanaman hutan secara berkelanjutan. Pohon yang ditebang adalah yang telah layak untuk diambil dan diganti dengan menanam sepuluh bibit pohon baru. Konsep pengelolaan ini mendapatkan sertifikasi yang membuat hargakayu naik 10x lipat, dari 600rb/kubik menjadi 6jt/kubik. Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa masalah sosial yaitu pengrusakan lingkungan melalui illegal logging dapat teratasi dan masyarakat tetap memiliki mata pencaharian bahkan dengan penghasilan yang jauh lebih besar.
Dari beberapa contoh diatas kita dapat melihat bukti bahwa bisnis tidaklah harus semata-mata untuk pemenuhan ekonomi semata, namun dapat menyelesaikan masalah sosial maupun lingkungan. Intinya adalah keseimbangan antara pemenuhan ekonomi, kepedulian sosial, dan pelestarian lingkungan. Bisnis sosial seperti contoh diatas menunjukkan keberpihakan kepada kaum yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi dan keserakahan para pelaku bisnis. Terlepas dari nama yang disematkan pada bentuk bisnis tersebut, yang patut kita apresiasi adalah tuntutan global telah mendorong bisnis/perusahaan untuk berperilaku lebih etis, peduli terhadap isu sosial utamanya kesejahteraan masyarakat, dan turut melestarikan lingkungan. Apakah bentuk ini adalah model kapitalisme baru? Ataukah perkawinan antara sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi sosialis?.
Menurut saya, kita tidak perlu berdebat masalah nama, karena hal itu bukanlah substansi. Substansinya adalah seberapa besar dampak dari bentuk sistem ekonomi tersebut kepada masyarakat dan lingkungan serta menjamin kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam hal ini kita bisa meminjam ungkapan William Shakespeare “ apalah arti sebuah nama”.
Jakarta, 05 juni 2011.
Muh. Rudi Rumengan
…berusaha menuangkan ide dan buah pikiran ke dalam tulisan…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H