"Eh Mas kabarnya si Mba K gimana? Dengar-dengar lagi sakit katanya" tanya pak D tiga bulan lalu ketika saya bersilaturahmi ke kantornya daerah Senayan. "Alhamdulillah Mba K masih berjuang melawan sakitnya Pak, mohon doanya saja.", jawab saya seketika itu. Pak D ini mantan bos saya dan Mba K di perusahaan kami, dan sekarang menjadi eksekutif perusahaan di tempat lain.
Pak D kemudian bercerita tentang Mba K dengan logat Surabayaannya yg terkadang diselingi kata-kata makian tanpa bermaksud memaki, hanya soal gaya bicara jawa timuran. Kata pak D, beberapa tahun lalu dia mengumpulkan pejabat-pejabat di direktorat yang dipimpinnya untuk rapat koordinasi. Dalam kesempatan itu pak D mengungkapkan dan menjelaskan pada semua orang yang hadir tentang salah satu ide bisnis yang digagasnya guna menopang pilar bisnis perusahaan di masa mendatang.
Semua orang yang hadir menurutnya tidak ada yang membantah, dan cenderung mendukung ide yang dilontarkan pak D. Saat semua terdiam, pak D dalam rapat tersebut kemudian bertanya, "apakah ada yang tidak setuju dengan ide saya?". Pak D lebih lanjut bercerita pada saya, "eh Mas, si Mba  K kok malah angkat tangan sambil mengatakan tidak setuju, a** a**. Tapi Mba K kemudian menyampaikan alasan kenapa tidak setuju dengan runtut dan diperkuat data-data yang mendukung, serta menyatakan mengapa ide saya (pak D) tidak masuk akal". Tersirat dalam cerita pak D pada saya di kantornya bahwa beliau memberikan apresiasi dan kredit tersendiri terhadap Mba K, atas kejadian beberapa tahun lalu tersebut.
Cerita pak D memang valid karena pernah saya verifikasi langsung ke Mba K sebelum beliau berpulang ke sang Pencipta di awal bulan ini karena sakit yang diderita (semoga Allah merahmati beliau). Pun di kemudian hari saya tahu persis bahwa ide bisnis pak D tersebut tidak bisa dijalankan dan pendapat Mba K memang benar.
Bagi saya keberanian Mba K untuk mengatakan "tidak" pada bosnya adalah sesuatu yang patut ditiru dan diteladani. Di tengah era dimana tidak banyak orang berani bersuara, berkata yang benar daripada sekedar menuruti pimpinan, maka keberanian berkata dan berpendapat adalah suatu oase tersendiri.
Banyak praktek kekeliruan, ketidakbenaran yang terjadi secara berulang-ulang sehingga sudah dianggap sebagai praktek yang lumrah dan benar oleh masyarakat umum. Hal ini terjadi karena sedikitnya orang yang tahu akan kekeliruan ini dan mau bersuara, memberikan kritik dan nasehat. Tidak perlu menjadi orang yang sempurna untuk memberikan keritik, karena tidak akan ada orang yang sempurna kecuali nabi.
Mengingat orang tidak ada yang sempurna, maka sudah pasti orang bisa salah, keliru dan berbuat tidak benar. Sebagai sesama manusia sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan apabila ada kesalahan yang dibuat oleh orang lain di sekeliling kita, karena nasehat -menasehati dalam kebenaran adalah juga perintah Tuhan. Pun sebaliknya kita jangan mudah baperan dan marah jika diingatkan dan dinasehati oleh orang lain.
Bagaimana cara mengingatkan? Tentu dengan suara, bisa suara secara langsung, via surat, lewat WA, direct message di media sosisal dan media lainnya. Jangan takut menjadi berbeda ketika menyuarakan kebenaran di saat banyak orang memilih diam. Anggaplah itu sebagai bukti rasa syukur akan karunia Tuhan atas otak, pikiran, mulut, tangan dengan menggunakannya sebagimana seharusnya.
Kisah saya tentang pak D dan Mba K di atas membuktikan, pada dasarnya ketika kritik atau sanggahan disampaikan pada seorang pimpinan tanpa membawa rasa benci dan ketidaksukaan maka Insya Allah pimpinan atau orang yang kita ingatkan tersebut akan menerimanya. Entah kemudian mereka yang dikritik atau diingatkan menjadi marah pada momen kita menyampaikan kritik, sanggahan atau nasehat, namun saya yakin suatu saat nanti hati mereka akan terbuka dan menerima kebenaran yang pernah kita sampaikan. Hari ini kami belajar dari Mba K, bahwa suara ini terlalu berharga kalau hanya tersimpan di kepala dan rongga dada.
Untuk mengenang Mba K....