Seringkali kita mengalami cedera otot atau urat yang penyebabnya beraneka ragam. Ada orang yang cedera urat karena terjatuh saat main sepeda, ada pula yang kena tekel waktu bermain sepakbola, tak jarang juga akibat kecelakaan saat berkendara. Biasanya akibat dari cedera tersebut, bagian tubuh yang mengalami akan merasakan sakit, sukar digerakkan dan memar.
Seringkali terjadi pada saat mengalami kondisi tersebut, nafsu makan menjadi hilang, tubuh rasanya tidak karuan. Kalau kita yakin cedera yang dialami tidak ada retak atau patah tulang, maka biasanya pergi ke tukang urut adalah opsi terbaik yang seringkali diambil.
Namun saat merasa ada sesuatu dengan tulang, maka disarankan pergi ke rumah sakit terlebih dahulu untuk melakukan Rontgen. Hasil Rontgen akan menunjukkan apakah terjadi sesuatu dengan tulang kita atau tidak. Saat hasil pemindaian terhadap tulang tidak menunjukkan adanya retak atau patah, mau menjalani fisioterapi terhadap urat yang mengalami cedera di rumah sakit juga tidak menjadi soal, apalagi ke tukang urut.
Secara alami jika urat mengalami benturan, yang terkadang menyebabkan bergeser dari jalurnya maka tubuh akan merespon. Respon tubuh bisa berupa warna kulit pada lokasi terjadinya cedera menjadi merah, hitam, kadang tubuh menjadi panas, rasa sakit dan nyeri saat menggerakkan bagian tubuh yang mengalami cedera tersebut, nafsu makan hilang dan beberapa gejala lainnya.
Tugas dari tukang urut adalah melemaskan urat dan otot yang tegang serta mengembalikan lagi pada tempatnya semula. Apakah sakit? Pasti sakit, namanya juga mengembalikan posisi urat pada tempatnya semula. Sehabis urat sudah berada di tempatnya, masih butuh waktu beberapa hari agar urat-urat tersebut menjadi normal sehingga tubuh tidak merasakan nyeri atau sakit lagi ketika digerakkan.
Apakah ketika cedera urat, terkilir, keseleo lantas kita tidak pergi ke dokter atau tukang urut maka bisa sembuh dan normal? Bisa jadi iya atau bisa juga tidak. Ada saat ketika urat yang bergeser sedikit bisa balik ke tempatnya semula, namun ada juga yang bergeser banyak sehingga butuh tindakan semisal fisioterapi atau diurut.
Bisa jadi urat ini tidak akan pernah kembali ke tempatnya semula, meskipun tubuh sudah tidak merasakan nyeri atau sakit lagi. Namun tentu saja pasti ada gerakan tubuh yang menjadi tidak normal seperti biasanya.Â
Taruhlah misal ketika normal tangan bisa digerakkan lurus ke atas, namun karena urat tidak dikembalikan ke tempat semula maka gerakan tangan hanya bisa sampai 3/4 lurus ke atas walaupun tidak ada rasa sakit.Â
Hal ini terjadi karena otak sudah terbiasa dengan kondisi urat yang sudah "tidak normal atau keluar jalur" sehingga tidak lagi memberikan respon berupa rasa sakit. Kita bisa mengatakan kondisi ini sebagai "pseudo normal". Sebuah kondisi yang merasa baik dalam kondisi yang sebenarnya tidak normal.
Kalau tubuh mempunyai respon alami terhadap cedera atau bagian tubuhnya yang tidak normal, maka hati atau jiwa juga punya respon alami terhadap suatu kondisi yang tidak benar dan sedang terjadi di lingkungan kita. Apakah benar demikian?
Suatu contoh ketika kita pertama kali memasuki lingkungan kerja yang penuh dengan suasana suap menyuap di dalam kantor, pegawainya hanya bertindak "asal bapak senang" saja.Â
Dari lingkungan yang normal menurut norma dan agama, kita memasuki lingkungan yang sangat berbeda alias tidak normal. Pasti hati ini menjadi tidak tenang, pikiran gelisah, takut jikalau kita akan terbawa ke dalam gelapnya ketidaknormalan tersebut.
Hati yang gelisah, pikiran yang tidak tenang adalah suatu respon alami jiwa terhadap keburukan yang terjadi di depan mata manusia. Seburuk-buruknya manusia tetap saja hati nuraninya tidak bisa dibohongi dengan hal-hal yang memang tidak benar.Â
Ketakutan jikalau kita ikut terjerumus dalam perilaku buruk dalam lingkungan kerja kita adalah satu benteng demarkasi yang yang harus tetap dijaga sehingga kita tidak ikut larut dan terjerumus.
Untuk menjaga agar hati dan pendirian kita kuat untuk tidak mengikuti perbuatan-perbuatan yang salah meskipun harus menjadi makhluk asing dan dikucilkan di lingkungan kerja, maka bergaul dengan alim ulama, rekan kerja yang lurus menjadi penting.Â
Dengan berkumpul dengan orang soleh, orang baik, maka hati kita akan saling menjaga dan menguatkan satu sama lain. Syukur-syukur malah bisa membuat aliansi untuk mendobrak keburukan yang terjadi dan mengajak pada jalan yang lurus sebagaimana difirmankan dalam QS 'li `Imrn :104
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Jangan sampai hati kita menjadi terbiasa dengan keburukan-keburukan yang terjadi di depan mata, sehingga menganggapnya sebagai kenormalan yang tidak perlu diperdebatkan lagi.Â
Jika ini terjadi maka sesungguhnya hati kita telah mengeras, sehingga sudah kehilangan kepekaannya untuk merespon sesuatu yang tidak baik. Pada akhirnya jangan sampai manusia merasa normal dalam kondisi diri dan lingkungan yang sebenarnya "pseudo normal".
MRR, Bks-17/10/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H