Dari lingkungan yang normal menurut norma dan agama, kita memasuki lingkungan yang sangat berbeda alias tidak normal. Pasti hati ini menjadi tidak tenang, pikiran gelisah, takut jikalau kita akan terbawa ke dalam gelapnya ketidaknormalan tersebut.
Hati yang gelisah, pikiran yang tidak tenang adalah suatu respon alami jiwa terhadap keburukan yang terjadi di depan mata manusia. Seburuk-buruknya manusia tetap saja hati nuraninya tidak bisa dibohongi dengan hal-hal yang memang tidak benar.Â
Ketakutan jikalau kita ikut terjerumus dalam perilaku buruk dalam lingkungan kerja kita adalah satu benteng demarkasi yang yang harus tetap dijaga sehingga kita tidak ikut larut dan terjerumus.
Untuk menjaga agar hati dan pendirian kita kuat untuk tidak mengikuti perbuatan-perbuatan yang salah meskipun harus menjadi makhluk asing dan dikucilkan di lingkungan kerja, maka bergaul dengan alim ulama, rekan kerja yang lurus menjadi penting.Â
Dengan berkumpul dengan orang soleh, orang baik, maka hati kita akan saling menjaga dan menguatkan satu sama lain. Syukur-syukur malah bisa membuat aliansi untuk mendobrak keburukan yang terjadi dan mengajak pada jalan yang lurus sebagaimana difirmankan dalam QS 'li `Imrn :104
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Jangan sampai hati kita menjadi terbiasa dengan keburukan-keburukan yang terjadi di depan mata, sehingga menganggapnya sebagai kenormalan yang tidak perlu diperdebatkan lagi.Â
Jika ini terjadi maka sesungguhnya hati kita telah mengeras, sehingga sudah kehilangan kepekaannya untuk merespon sesuatu yang tidak baik. Pada akhirnya jangan sampai manusia merasa normal dalam kondisi diri dan lingkungan yang sebenarnya "pseudo normal".
MRR, Bks-17/10/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H