Bulan ramadhan tanpa terasa sudah hampir sampai di penghujung. Bagi umat muslim ramadhan sangat dinantikan kehadirannya yang hanya muncul setahun sekali dalam siklus dua belas bulan. Kepergiannya akan dilepas dengan berat hati, layaknya orang ditinggal kekasih.
Nuansa kebaikan, ketaatan, kesalehan selalu muncul dalam bulan ramadhan. Orang berlomba-lomba mengeluarkan amalan terbaiknya. Amalan manusia akan diganjar dengan pahala berlipat-lipat. Sehingga jangan heran masjid-masjid  menjadi ramai dan penuh dengan orang-orang yang ingin beribadah, bersimpuh memuja Tuhannya.
Tidak hanya orang tua maupun dewasa, anak-anak juga turut ambil bagian dari kemeriahan ramadhan. Sedari kecil, anak-anak telah diajarkan keutamaan Ramadhan sekaligus bersama orang tuanya berlatih berpuasa. Bahkan sebelum masa pandemi beberapa sekolah memberikan tugas pada siswanya untuk mencatat kegiatan yang mereka lakukan selama Ramadhan seperti solat wajib, tarawih, pengajian, maupun kultum.
Sehingga menjadi tidak heran ketika sudah dewasa, umat muslim begitu merasakan nuansa yang berbeda, "magis" nya dari bulan Ramadhan. Memori masa kecil menjadi salah satu alat ampuh yang mengarahkan bagaimana kita menjalani Ramadhan dengan khusuk. Minimal bulan ramadhan menjadikan perilaku kita menjadi lebih baik daripada hari-hari lainnya.
Cinta
Umat muslim diperintahkan untuk menjalankan puasa sebulan penuh di saat Ramadhan. Hal ini diperintahkan Allah melalui firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah: 183)
Puasa bertujuan menjadikan seorang manusia bertakwa. Hal ini diperoleh melalui gemblengan sebulan penuh baik dari sisi jasmani maupun rohani. Orang bertakwa dapat diartikan sebagai seorang yang taat pada penciptanya untuk senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya.
Tentu ketakwaan ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat penciptaan manusia.
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Az-Zariyat Ayat 56)
Jadi sebenarnya apapun bentuk, pangkat, status seorang manusia di dunia, hakikaktnya adalah beribadah kepada Allah. Ibadah dalam konteks hubungan ke atas (transendental) atau hablum minallah  maupun hubungan dengan seaama manusia (hablum minannas). Manusia akan menjadi bertakwa ketika bisa memahami filosofi tersebut dan mengejawantahkannya dalam aksi nyata dalam kehidupan.
Ketaatan dalam ibadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan akan muncul dalam setiap gerak aksi manusia ketika rasa cinta pada Allah SWT telah menetap dan bersemayam dalam hati. Tanpa rasa cinta, segala aksi manusia akan terasa kering, hambar, laksana robot yang tak berperasaan.
Rasa cinta yang mendalam akan Rabb-nya membuat seorang manusia akan menampilkan yang terbaik demi keridhaan yang dicintainya. Sama akan halnya ketika kita mencintai seseorang, tentu kita akan rela dan ikhlas melakukan apapun demi membuat bahagia dirinya. Pun demikian dalam kontek rasa cinta manusia terhadap Rabb-nya. Oleh karenanya, sedalam apa kita mencintai Allah SWT, maka hal itu akan menentukan tingkat ketakwaan seorang manusia.