Baru-baru ini seorang teman yang akan berlaga di suatu pilihan kepala daerah bercerita bahwa jadwalnya sekarang sangat sibuk. Setiap hari dia harus mengunjungi dua belas titik di seluruh kabupatennya sebagai upaya meningkatkan elektabilitas.Â
Bisa dibayangkan betapa menguras tenaga, aktivitasnya dimulai dari habis subuh hingga tengah malam hanya untuk memenangkan Pilkada.
Teman saya bercerita, tiap melakukan kunjungan pada suatu titik maka dia harus memberikan sumbangan, meninggalkan sejumlah uang untuk tim yang mengurus acara tersebut dan juga untuk tokoh-tokoh setempat.Â
Sekitar seratus juta rupiah dia harus mengeluarkan tiap minggunya. Menurutnya banyak orang yang menjadikan kampanye, kunjungan calon pemimpin daerah sebagai mata pencahariannya.
Lebih lanjut teman saya mengatakan jika dia menjalani aktivitas ini seperti bukan menjadi dirinya. Kepribadiannya yang pendiam, menjadi harus lebih banyak ngomong, tersenyum, bercanda dengan para konstituen yang ditemuinya. Dia merubah dirinya demi mengejar elektabilitas dan memenuhi selera pasar pemilihnya.
Mengapa kisah teman saya tersebut coba diangkat disini, begini alasannya. Sekitar sebulan lalu di suatu group whatsapp banyak teman yang mengkritik penguasa dan menganggapnya plin plan, gak cakap, memalukan dan lain-lain.Â
Saya masih diam saja sampai akhirnya saat kritik-kritik itu berujung menyatakan bahwa sang penguasa tidak amanah. Pada titik ini kemudian saya katakan bahwa jabatan presiden, gubernur, bupati hari ini adalah bukan suatu amanah, namun sebuah proses perdagangan yang akan dimenangkan oleh pedagang yang berhasil memperoleh penjualan terbanyak (suara pemilih).
Mayoritas pemimpin saat ini menjalani proses seperti yang dijalankan oleh teman saya seperti cerita di awal tulisan ini. Karena konteksnya adalah memperebutkan pasar pemilih, maka mau tidak mau mereka akan menjadi pedagang, menawarkan berbagai barang dagangan berupa visi, misi, program, janji-janji.Â
Tak lupa sebagai pedagang mereka juga kadang memberikan gimmic, seperti kaos, kalender, dan diskon diterima dimuka (uang saku) bagi para calon pembeli (pemilih).
Permasalahannya adalah klasik, dari jaman dulu kala para pedagang seringkali terlalu melebih-lebihkan barang dagangannya agar semata-mata laku sehingga terkadang unsur kejujuran terpinggirkan.Â
Pembeli yang tidak cermat seringkali terperdaya bahkan menikmati cara pemasaran si pedagang karena banyak gimmicnya. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari sudah seringkali kita mengalami jika barang yang dibeli ternyata tidak sesuai kualitasnya dengan promosi si pedagang.Â