Barangkali Mark Breland menjadi orang yang paling dibenci oleh Deontay Wilder sekarang ini. Apa pasal petinju mantan juara dunia kelas berat asal Amerika Serikat ini menjadi sangat berang? Ternyata persoalannya sepele, Breland yang merupakan asisten pelatih Wilder melemparkan handuk putih ke atas ring saat pertandingan antara Wilder melawan Tyson Fury memasuki ronde ke-7 pada hari Minggu, 23 Februari 2020 di Las Vegas, Amerika Serikat.
Gara-gara handuk melayang, maka wasit menghentikan pertandingan dan memberikan kemenangan TKO pada Fury. Ini menjadi kekalahan pertama bagi Wilder sepanjang karirnya sekaligus merelakan gelar juara tinju kelas WBC beralih ke Tyson Fury. Padahal pertandingan masih menyisakan lima ronde lagi, bisa jadi Wilder berbalik unggul dan bisa memukul KO Fury.
Bagi seorang petarung seperti Wilder, harus menyerah dalam pertandingan pasti bukan pilihan yang bagus. Meskipun muka sudah berdarah-darah demikian juga telinga, secara alamiah Wilder tetap akan memaksa dirinya tetap bertarung. Sejak ronde pertama hingga dihentikan wasit pada ronde ketujuh, Wilder kesulitan untuk meladeni Furry dan menerima banyak sekali pukulan yang menyebabkan dirinya sempat jatuh dua kali.
Petarung akan menganggap dirinya kuat, meskipun orang yang melihatnya dalam kondisi sangat kepayahan. Petarung akan memaksa dirinya tetap bertanding, sampai benar-benar dia tidak bisa bangkit dan bergerak. Tim pelatih berpandangan lain, mereka harus memastikan keselamatan petinjunya tetap aman, bisa pulang dalam keadaan selamat pada keluarganya, dan bisa bertanding kembali di lain waktu. Urusan menang kalah menjadi urutan nomor kesekian, keselamatan menjadi yang pertama.
Seandainya handuk putih tidak melayang, entah bagaimana nasib Wilder kemudian. Banyak fakta olahraga tinju membuat seorang petinju mngalami cedera berat di kepala, otak, bahkan berujung pada kematian ketika bertubi-tubi mendapat pukulan di kepala. Tentu tim pelatih tidak menginginkan hal ini terjadi, sehingga harus melempar handuk dan memaksa wasit menghentikan pertandingan.
Tim pelatih sudah bersiap dengan keputusannya, bersiap pula menghadapi kemarahan Wilder bahkan kemungkinan dipecat. Tapi sebagai profesional mereka harus melakukan itu karena pelatihlah yang paling tahu kondisi petinjunya, bisa berpikir dan bertindak objektif. Sementara itu Wilder karena terlibat dalam pertandingan sebagai petarung, dia tidak akan bisa berpikir objektif tentang kondisinya.Â
Menyerah kalah pada lawan hanya akan menurunkan harga dirinya. Wilder perlu dokter yang objektif, dan tim pelatihlah "dokter" terbaik yang paling paham kondisinya. Sebagai "pasien", Wilder harus mengikuti keputusan "dokter".
Berkaca dari peristiwa Wilder, seringkali manusia tidak bisa berpikir objektif apabila menyangkut dirinya sendiri. Sama halnya seorang dokter apabila dia sakit yang membutuhkan diagnosa maupun tindakan atau perawatan maka dia butuh bantuan dari rekan dokter lainnya. Secara psikologis  dan objektif seorang dokter akan sangat kesulitan mendiagnosa dirinya sendiri.
Oleh karenanya terkadang kita harus merelakan orang lain menjadi "dokter" untuk diri kita sendiri. Karena memang tidak semua bisa kita diagnosa dan tangani sendiri, maka mencari sesorang yang bisa dipercaya untuk memberikan pandangan, nasihat, anjuran, saran yang baik sangat diperlukan.Â
Sebagai manusia, mencari partner yang baik dalam pekerjaan, kehidupan dunia, maupun aktivitas akhirat menjadi suatu kebutuhan. Kalau sudah yakin teman atau "dokter" kita baik lagi bisa dipercaya, maka saat mereka lempar handuk putih maka kita pun akan percaya dan menurutinya, tidak perlu marah dan menyangkal.
MRR, Mgm-27/02/2020