Bangsa Pemaaf
Salah satu yang membuat saya percaya bahwa rekonsiliasi dan ketegangan politik dengan mengangkat isu perpecahan yang "katanya masif" memang sengaja diciptakan adalah sejarah bangsa ini yang telah membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa pemaaf. Orang Indonesia bukan orang yang gampang menyimpan dendam dan membuat permusuhan.
Mau bukti, ada seabreg contoh kasus yang bisa diajukan. Bagaimana orang Indonesia sangat ramah dan menghormati jika ada warga negara asing khususnya warga Belanda yang sedang berkunjung ke daerahnya membuktikan hal tersebut. Meskipun Indonesia pernah ditindas dan dijajah Belanda selama 350 tahun namun tidak ada dendam secuilpun di hati kita saat ini kan.
Seorang penjahat, misalnya koruptor yang menggarong ratusan milyar rupiah pun dengan gampang diterima kembali di tengah masyarakat ketika dia mau bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar meskipun betapa bencinya masyarakat Indonesia akan tindakan korupsi.
Seorang Prabowo Subianto pun sebagai pentolan kubu 02 juga sudah menunjukkan bahwa dia seorang pemaaf. Meskipun pada saat pilpres 2014 kubunya merasa menang pemilu namun ternyata hasil resmi berkata lain, Prabowo akhirnya mengucapkan selamat pada Jokowi dan bersama-sama meneguhkan untuk mengutamakan kepentingan nasional. Padahal saat itu kubu Prabowo juga merasa dicurangi dalam pemilu 2019.
Hari ini saya yakin seorang Prabowo Subianto pun masih menjadi seorang pemaaf, seperti mayoritas bangsa Indonesia pada umumnya, pun saat putusan MK tidak berpihak padanya di tengah derasnya keyakinan kubu 02 terjadinya "kecurangan" yang luar biasa dalam pilpres 2019.Â
Hal ini sudah tampak saat pada awalnya 02 mengklaim kemenangan sebesar 62% dalam pilpres dan pernyataan tidak akan membawa perselisihan pilpres ke MK.Â
Namun berjalannya waktu, saat terjadi kerusuhan akibat protes penetapan 01 Â sebagai pemenang pilpres oleh KPU, Prabowo menenangkan pendukungnya dan kemudian menyatakan akan menggugat hasil tersebut ke MK.
Move On
Jadi sebenarnya apakah kita perlu rekonsiliasi? Jawabannya adalah tidak, mengapa? Karena sebenarnya ikatan sosial kita sebagai anak bangsa yang bersaudara, bersahabat tidak pernah putus hanya gara-gara sebuah pilpres yang digelar setiap lima tahun sekali.Â
Rakyat kita itu sudah sangat dewasa dan menyadari bahwa kontestasi dan rivalitas pilpres adalah permainan atau perlombaan demokrasi yang memang hanya ada satu pemenangnya.