Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujian Syukur dan Bakti pada Orang Tua

12 Mei 2019   14:48 Diperbarui: 12 Mei 2019   14:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika istri saya pulang naik Go-Jek dari tempat kerjanya menuju rumah. Saat melewati Burger King istri meminta kepada si pengemudi Go-Jek untuk mampir sebentar, membelikan anak minuman float kesukaannya. Berhentilah mereka di jalur Drive thru dan kemudian istri segera memesan dua mango float. Namun karena merasa kasihan dan tidak enak dengan si pengemudi, maka istri pun memesankannya minuman cokelat float.

Saat minuman yang dipesan sudah datang, dikasihkanlah cokelat float tersebut kepada si pengemudi Go-Jek. Istri saya memintanya untuk segera diminum, karena kalau kelamaan pasti floatnya mencair dan rasanya menjadi kurang segar. Namun si pengemudi menolak meminumnya dan mengatakan akan membawa minuman tersebut pulang untuk anaknya. "Lho kalau pulang ke rumah kan jauh, nanti udah gak enak pak" istri saya berkata pada si pengemudi. "Rumah saya dekat kok Bu, di sekitar sini. Habis ngantar ibu saya langsung pulang ke rumah dulu." si pengemudi berkata pada istri saya. Padahal rumah si pengemudi dengan rumah saya ada sekitar 4 km.

Bagi kita, segelas cokelat float seharga paling mahal lima belas ribu rupiah mungkin bukan merupakan barang mewah dan tergolong murah. Namun berkebalikan dengan kita, bagi si pengemudi Go-Jek tadi barangkali segelas cokelat float di Burger King merupakan barang yang mewah, yang belum pernah dia rasakan. Jangankan nmerasakan, membayangkan dirinya membawa keluarganya saja sekedar makan di tempat itu barangkali dia juga tidak berani.

Ada dua hal yang bisa kita petik hikmah dari kejadian di atas. Pertama, kemampuan seseorang untuk bersyukur atas apa yang diperoleh atau dinikmatinya seyogyanya melekat inheren pada setiap diri pribadi. Kita itu lebih sering berucap syukur ketika mendapatkan hadiah atau sesuatu yang nilainya besar, tidak terjangkau atau biasanya dalam keadaan normal kita susah mendapatkannya. Kategori inilah yang membedakan antara si kaya dan si miskin.

Bagi orang kaya, makan sehari lima kali di restoran mewah dapat dilakukan setiap.saat, namun bagi si miskin nanti bisa makan apa tidak masih menjadi persoalan utama. Sehingga seringkali kita lihat orang kaya membuang-buang makanannya yang tidak habis atau dengan entengnya memesan makanan lainnya sementara makanan sebelumnya saja sudah pasti tidak habis dimakan. Hal-hal yang dianggap biasa oleh kaya seperti makanan, mainan, kendaraan, bagi orang miskin adalah sesuatu yang luar biasa alias mewah.

Pada titik tersebutlah kebanyakan orang kaya gagal melewati ujian syukur atas nikmat Allah, sementara si miskin relatif lebih banyak berhasil melewatinya. Si miskin lebih bisa menghargai untuk tiap keping rupiah yang dimilikinya daripada si kaya mengingat proses mendapatkannya sungguh jauh berbeda, biasanya si miskin dengan proses yang  jauh lebih sulit daripada si kaya. Oleh karenanya biasanya di setiap tarikan nafas si miskin sudah melekat rasa syukur pada sang Pencipta.

Kedua, cerita di atas menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua pada anaknya tidak terbatas, seperti matahari yang tiap hari menyinari. Lihatlah, orang tua selalu menjadikan urusan kebahagiaan anaknya menjadi prioritas dibandingkan kebahagiaan dirinya sendiri. Orang tua rela tidak makan asal anaknya bisa makan, mereka rela bekerja membanting tulang selama anak-anaknya bisa tetap sekolah.

Apakah pengemudi Go-Jek dalam kejadian di atas tidak mau mencoba minuman yang dibelikan istri saya? Saya yakin pasti dia sangat ingin, namun karena rasa sayang pada buah hatinya, dia rela mengalah dan memendam keinginannya dan mengalihkan nikmat tersebut pada anaknya. Kejadian-kejadian orang tua yang berkorban seperti itu tentu tidak semua anak mengetahui betapa pengorbanan orang tua pada mereka. Namun yakinlah banyak sekali pengorbanan orang tua bagi kebahagiaan kita anak-anaknya tanpa pernah kita sadari. Oleh karenanya, seumur hidup kita harus berbakti dan menurut pada orang tua, jangan kecewakan dan sakiti mereka. Haruslah diingat bahwa ridho Allah bergantung ridho orang tua.


MRR, SNG-BKS-12/05/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun