Dalam nota keuangan dan RAPBN 2019 disebutkan anggaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2019 direncanakan sebesar Rp 100.069,5 miliar atau lebih rendah Rp3.425,8 miliar dibandingkan dengan outlook-nya dalam tahun 2018 sebesar Rp 103.495,3 miliar (termasuk pembayaran sebagian kurang bayar subsidi tahun 2016 sebesar Rp12.300,0 miliar).Â
Subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2019 antara lain terdiri atas: subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) sebesar Rp 31.737,2 miliar dan subsidi LPG tabung 3 kg sebesar Rp 68.332,3 miliar. Alokasi subsidi tersebut termasuk perhitungan carry over ke tahun berikutnya sebesar Rp 5.000,0 miliar.Â
Perhitungan anggaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg tahun 2019 tersebut menggunakan asumsi dan parameter antara lain : (1) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp 14.400/US$; (2) asumsi ICP sebesar US$ 70/barel; (3) volume BBM bersubsidi sebesar 15.110 ribu kiloliter; (4) subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp 2.000/liter; dan (5) volume LPG tabung 3 kg sebesar 6.978 juta kg.
Dengan subsidi sebesar 68,3 triliun rupiah maka diperoleh 6.978 juta kg LPG atau 2,326 milyar tabung LPG 3 kg untuk kebutuhan nasional selama setahun. Menurut Pertamina, hampir 70% kebutuhan LPG dalam negeri dipenuhi dari impor. Tentu hal ini kurang bagus karena akan mengurangi devisa dan dapat menambah defisit transaksi berjalan.Â
Padahal dalam asumsi dasar ekonomi makro 2019, lifting gas bumi diasumsikan 1,25 juta barrel setara minyak per hari, suatu jumlah yang signifikan. Mengapa hari ini kita masih bergantung pada LPG 3 kg?
LPG 3 Kg Tidak Tepat Sasaran
Secara filosofi LPG 3 kg diperuntukan untuk kaum miskin dan usaha mikro. Namun dalam prakteknya pengguna tabung LPG 3 kg (melon) tidak hanya kaum miskin, namun orang dengan kategori menengah ke atas juga menggunakan gas melon tersebut. Padahal di tabung gas melon dengan jelas tertera hanya untuk orang miskin.Â
Demikian pula untuk sektor usaha mikro, karena usaha yang lebih besar dari mikro juga ternyata banyak menggunakan tabung gas melon. Apalagi ditambah harga LPG 12 kg dan 50 kg yang jauh lebih mahal per kg nya daripada gas melon, membuat masyarakat berebut menggunakan gas melon.
Tidak ada pembatasan di pangkalan LPG 3 kg tentang siapa yang berhak membelinya. Kalaupun kemudian pangkalan membatasi gas melon hanya buat orang-orang yang benar-benar miskin, para pemilik pangkalan tidak mau menjadi sasaran amukan warga yang tidak mendapat gas melon meskipun bukan warga miskin. Kalau tidak hati-hati masalah pembelian gas melon bisa menyebabkan konflik sosial.
Niat baik memberikan subsidi energi dalam bentuk LPG 3 kg untuk warga miskin terbukti banyak yang tidak tepat sasaran. Tentu hal ini membuat kita prihatin mengingat nilai subsidi yang sangat besar. Kalau di rata-rata tiap rumah menggunakan 3 tabung gas melon perbulan, maka volume LPG tabung 3 kg sebesar 6.978 juta kg bisa digunakan oleh 64,611 juta rumah tangga (RT) per bulannya.Â
Menurut BPS, satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,59 anggota rumah tangga, dengan jumlah anak sebanyak 2-3 orang. Jadi kalau berdasar data BPS Â jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 adalah sebanyak 25,95 juta orang, maka ada 5,654 juta rumah tangga miskin yang berhak atas LPG 3 kg. Bandingkan angka tersebut dengan alokasi LPG tabung 3 kg yang cukup untuk 64,611 juta rumah tangga, terdapat selisih sekitar 58,957 juta rumah tangga.