Sangat sering saya menjumpai bagaimana orang-orang kaya dengan harta dan uang yang tak terkira banyaknya tidak bisa menikmati kekayaan mereka sendiri. Mau makan enak dilarang katanya kolesterol, mencegah serangan jantung dan beragam alasan kesehatan lainnya. Dahulu saat masih miskin, makan sate kambing adalah barang mewah, bisa dibilang hanya satu tahun sekali itupun pas Hari Raya Idhul Adha. Sekarang saat sudah kaya, makan sate kambing juga tidak bisa karena bisa menaikan kolesterol dan bisa membangunkan penyakit yang sudah menumpuk di tubuhnya. Saat masih miskin tidak bisa makan sate, saat kaya makan sate dilarang, jadi apa fungsinya perubahan dan penumpukan kekayaan tersebut?
Saat muda seringkali banyak orang mati-matian mengejar prestasi akademik, bekerja keras tanpa kenal waktu. Semua dijalani ada yang dengan terpaksa, ada pula yang ikhlas setengah mati. Ujung dari usaha keras tersebut adalah untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Hidup yang lebih baik itu diartikan banyak orang sebagai kesuksesan. Pola pikir masyarakat saat ini masih menempatkan gelar, harta dan jabatan sebagai ukuran kesuksesan.
Mengapa kesuksesan banyak dicari dan dikejar? Ternyata kesuksesan dipercayai sebagai pembawa kebahagiaan. Ambil contoh umum, seorang punya harta 1 triliun rupiah dengan orang yang punya harta 1 juta rupiah, bahagia mana? Tentu orang akan dengan gampang menyatakan orang yang punya harta 1 triliyun rupiah lebih bahagia daripada yang hanya punya 1 juta rupiah. Orang kaya lebih bahagia dari orang miskin, orang berpendidikan tinggi lebih bahagia dari orang tak bersekolah, orang berkedudukan tinggi semacam pejabat pasti lebih bahagia daripada rakyat jelata. Begitulah dikotomi yang dimunculkan dalam keseharian masyarakat kita, dan kemudian mewarnai pola pikir generasi selanjutnya. Pola pikir yang menganggap bahwa kesuksesan adalah sumber kebahagiaan.
Padahal sudah banyak contohnya orang sukses namun tidak bahagia. Awal paragraf tulisan ini adalah sedikit contoh bahwa kesuksesan tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Jadi sebenarnya yang dicari adalah kebahagiaan atau kesuksesan? Kalau saya pribadi mencari kebahagiaan, kesuksesan adalah bonus dari nilai usaha serta kuasa Allah.
Manusia bisa jadi kaya, miskin, pintar, bodoh, pejabat, rakyat biasa, semua punya peran dan posisi masing-masing. Menjadi bahaya kalau kebahagiaan diukur dari kesuksesan seseorang dengan parameter yang saat ini ada di tengah masyarakat. Mengapa bahaya, karena kalau menggunakan logika tersebut maka orang miskin, orang bodoh dan orang biasa tidak akan bisa bahagia. Sesungguhnya kebahagiaan adalah pilihan hidup yang tiap orang bisa ambil.
Kebahagiaan itu ada dalam hati yang akan muncul seiring hadirnya rasa syukur. Rasa syukur inilah yang akan menentukan hidup seseorang bahagia atau tidak, karena kebahagiaan berbanding lurus dengan rasa syukur. Meskipun tidak punya uang, hidup sakit-sakitan, namun rasa syukur melimpah dalam diri kita maka beban tersebut menjadi sirna, kalah oleh rasa syukur kita pada Allah atas nikmat yang telah diberikan sejauh ini. Masih banyak orang lain yang lebih buruk kondisinya dari yang kita alami sekarang. Memandang ke atas memang bagus sebagai motivasi untuk tetap berusaha dan berkarya, namun memandang ke bawah juga sangat perlu untuk memunculkan rasa syukur.
Sekali lagi carilah kebahagiaan kita dalam rasa syukur, bukan dalam materi, kedudukan, maupun pangkat. Kita dapat menjalani peran dan kedudukan apapun mengikuti takdir Allah, namun kebahagiaan harus diraih sendiri. Cukup dengan mempunyai rasa syukur dalam hati, maka kita akan bahagia.
Firman Allah dalam Surat Ibrahim Ayat 7:
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". "
MRR, Cbn-14/08/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H