Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memudarnya Musyawarah Mufakat Tergerus oleh Zaman

11 Juni 2018   12:36 Diperbarui: 11 Juni 2018   12:36 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Si Badu teman saya suka bercerita hari-harinya dihabiskan untuk meeting dari satu divisi ke divisi lain, dari satu tempat ke tempat lain. Rutinitas ini sudah dijalani olehnya hampir dua tahunan, maklum baru dua tahun dia menjadi orang penting di perusahaannya. Awal mulanya dia menikmati dari proses meeting yang satu ke meeting lainnya, namun lambat laun Badu merasakan kebosanan.

Seringkali undangan meeting hanya untuk membahas hal yang sepele, ringan dan dapat dengan mudah diputuskan oleh pejabat yang berwenang. Banyak pejabat yang masih kurang percaya diri sehingga merasa perlu melibatkan bagian lain sebagai justifikasi pengambilan keputusannya. Tak jarang pula Badu harus menghadiri meeting dengan topik yang sama dan terus berulang, sudah diputuskan di rapat sebelumnya namun berubah di rapat berikutnya.

Badu menengarai banyak orang menjadikan meeting sebagai ajang melemparkan dan menghindari masalah pada diri, bagian dan divisinya. Semestinya meeting atau rapat diadakan untuk menyelesaikan masalah atau isu yang memang pantas untuk dibahas dan diselesaikan bukan malah menjadikannya bola liar yang dilempar kesana-kemari tanpa solusi. Beberapa rekan Badu mempunyai mazhab selama keadaan masih mengambang tanpa putusan dan bola liar tidak mengena pada mereka maka tidak perlu diributkan. Hal seperti ini kadang membuat Badu merasa bosan dan muak.

Mungkin tak salah kalau Badu mengalami kebosanan ketika harus menghadiri banyak meeting tiap harinya, karena esensi kata "meeting" yang berasal dari bahasa Inggris adalah bertemu. Maka menjadi wajar kalau dalam meeting sudah direncanakan kapan meeting selanjutnya akan diadakan termasuk dimana tempatnya daripada fokus terhadap agenda meeting itu sendiri. Meeting boleh jadi gagal menghasilkan suatu putusan dan kesepakatan yang jitu, namun tidak boleh gagal untuk menyepakati diselenggarakan meeting selanjutnya, begitu kira-kira ilustrasinya.

Maka sudah sewajarnya ketika saya mengusulkan pada Badu untuk mengganti acara dan istilah meeting dengan musyawarah untuk mufakat. Musyawarah untuk mufakat merupakan inti dari sila ke 4 Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Musyawarah untuk mufakat adalah budaya bangsa ini, yang telah mengakar dalam jauh sebelum istilah meeting digunakan.

Musyawarah merupakan cara dan alat untuk semua elemen peserta musyawarah mendiskusikan materi atau permasalahan yang akan dibahas dengan semangat untuk mencari jalan keluar, bukan berlari dan menghindari masalah. Musyawarah akan menghasilkan kesepakatan, persetujuan dari seluruh peserta yang disebut dengan mufakat. Semua peserta musyawarah mempunyai hak yang sama dalam kegiatan tersebut. Voting boleh digunakan sebagai alternatif terakhir ketika kata mufakat tidak juga tercapai.

Meskipun voting tidak diharamkan dalam musyawarah, namun voting bukan sesuatu yang diutamakan dan didahulukan. Musyawarah mengedepankan penyampaian pendapat dari semua peserta, lantas mengutamakan diskusi atas pendapat/usul yang disampaikan untuk kemudian berproses sehingga dapat mencapai kata mufakat. Mufakat ini menjadi kesepakatan semua peserta musyawarah sehingga hasilnya lebih kuat dari voting karena mufakat melibatkan persetujuan dan keihklasan semua peserta musyawarah berbeda halnya dengan voting.

Jadi kalau kita mendengar kata musyawarah maka asosiasi pikiran kita akan langsung pada mufakat, diskusi, dan kekeluargaan. Kalau sedari awal asosiasi tersebut sudah muncul, maka Insya Allah mencapai kata mufakat bukan sesuatu yang sulit.

Meskipun musyawarah untuk mufakat adalah inti dari demokrasi Pancasila, namun keberadaannya lambat laun mulai menghilang dalam kehidupan kita sehari-hari hari. Coba kita tengok puluhan, ratusan, bahkan ribuan undangan yang telah diterima apakah ada yang mengundang kita untuk menghadiri acara musyawarah untuk mufakat tentang suatu permasalahan. Undangan menghadiri musyawarah mufakat terakhir kali saya tahu adalah jaman SD, tahun 80-an  ketika almarhum Bapak diundang menghadiri musyawarah di balai desa.

Bergulirnya waktu musyawarah mufakat semakin menghilang digantikan oleh meeting, rapat, dan lain sebagainya. Tentu sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya kita kembali pada musyawarah mufakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bersama yang dihadapi. Ah mulai sekarang saya berencana mengganti undangan meeting dan rapat dengan musyawarah untuk mufakat, kembali kepada jatidiri bangsa.

MRR, Pbg-11/06/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun