Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumput Tetangga Tak Selalu Hijau

18 Desember 2017   07:44 Diperbarui: 18 Desember 2017   07:57 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah di suatu lingkungan sekolah swasta sedang dilakukan perbaikan bangunan. Perbaikan bangunan ini dikerjakan oleh para tukang bangunan. Cerita dimulai ketika tenaga pengajar mengetahui bayaran dari tukang bangunan dan kemudian membandingkan dengan bayaran mereka sendiri. Berkatalah tenaga pengajar kepada pengurus sekolah, mempertanyakan kok gaji mereka per jamnya lebih rendah rendah daripada si Tukang Bangunan. 

Penguruh sekolah kemudian menjawab bahwa kerja si Tukang lebih berat, harus mengaduk-aduk olahan semen, pakai tenaga. Tenaga pengajar kemudian berargumen bahwa coba si Tukang bangunan menggantikan mereka mengajar, apa bisa hayo, paling juga gugup dan grogi kalau disuruh memberi pelajaran kepada murid-murid. Pengurus sekolah membalikkan hal yang sama kepada tenaga pengajar seandainya mereka menggantikan posisi si Tukang Bangunan, tentu mereka tidak akan kuat dan tidak punya kemampuan dalam dunia pertukangan. Perdebatan berhenti tanpa solusi dan masing-masing pihak balik kanan.

Banyak sekali kita melihat orang lain hidupnya lebih baik, lebih enak dari kita. Seringkali kita merasa lebih mampu dari orang lain serta merasa lebih berhak atas suatu jabatan daripada orang lain. Itu sudut pandang dari diri kita, sebaliknya orang lain mungkin juga punya sudut  pandang yang sama terhadap diri kita. Barangkali mereka juga memandang bahwa enak sekali diri kita, gak ada kerjaan tapi bayaran sama, tidak ada bedanya dengan mereka yang bekerja mati-matian. Orang jawa mengatakan dengan peribahasa "hidup itu sawang sinawang".

Selalu ada perdebatan akan nasib atau keadaan sesorang apabila dikaitkan dengan keadaan kita, melihat dari kacamata kita dengan niat membanding-bandingkan yang pada akhirnya akan menimbulkanl iri hati satu sama lain. Melihat keadaan orang lain yang lebih baik dari kita tentu sah-sah aja apabila niatnya sebagai pemompa semangat agar kita bisa lebih giat dan baik lagi dalam berusaha dan bekerja. Melihat seorang alim ulama tentu menggerakkan hati kita agar bersemangat menuntut ilmu sehingga bisa menjadi seperti mereka, bisa mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada orang lain di sekeliling kita. Melihat seorang pengusaha kaya membuat kita bersemangat dalam mengembangkan usaha, sehingga bisa memberi nafkah pada banyak orang.

Melihat keberhasilan orang lain harus diletakkan dalam kacamata positif, bukan menjadi sesuatu yang negatif pada diri kita. Kalau memandang keberhasilan orang lain dari kacamata negatif maka yang muncul adalah iri dengki belaka, dan pikiran-pikiran kotor lainnya. "Ah dia kaya kan karena hobi menipu orang, ah dia bisa menjabat posisi itu kan karena rajin menyogok atasannya, yaa aku harusnya yang ada disposisi itu kalau dia sih gak ada apa-apanya", dan masih banyak contoh kalimat maupun pikiran negatif yang muncul apabila kita iri dengan keberhasilan, rejeki orang lain. 

Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri, merupakan peribahasa yang menganggap bahwa keadaan/nasib orang lain selalu lebih baik dari kita. Tidak akan pernah puas kita melihat rumput tetangga yang selalu kelihatan lebih hijau, karena ketika kita kuasai rumput tetangga tersebut, ternyata milik tetangga lainnya pasti kelihatan lebih hijau lagi. Lebih banyak kita melihat dari penampakannya saja, dari yang terlihat di depan mata, namun jarang kita tahu yang sebenarnya ada di dalamnya. Melihat dengan kejernihan hati, bukan dengan perasaan iri sehingga bisa membuat kita lebih mawas diri.

Melihat juga harus seimbang, tidak melulu keatas, namun sesekali harus melihat ke bawah. Dengan melihat ke bawah kita akan memahami bahwa masih ada orang yang nasib dan keadaannya tidak seberuntung kita. Harapannya dengan melihat ke bawah kita dapat menjadi orang yang bersyukur dan rendah hati. Harus selalu seimbang antara harapan dan usaha dalam usaha membuat nasib kita menjadi lebih baik, dimana perlu juga ditumbuhkan rasa syukur apapun keadaan kita, sehingga apapun kegagalan dalam berusaha beserta hasil yang meleset bisa kita sikapi dengan bijaksana tanpa duka berkelebihan.

Seperti kisah tenaga pengajar dan tukang bangunan di atas, kebaikan dan keberhasilan adalah sesuatu yang sangat relatif ketika disandarkan pada ukuran duniawi dan persepsi masing-masing manusia. Dibutuhkan hati yang bening dan pikiran jernih agar bisa merasakan ketentraman dan menterjemahkan rasa syukur dalam hidup ini serta menghilangkan iri dengki. 

Mulailah nikmati rumput yang ada di halaman kita, bukan rumput orang lain yang kelihatan lebih hijau tapi merupakan jebakan hidup. Sandarkan motivasi usaha dan hidup kita hanya pada Allah SWT, sehingga akan ada keikhlasan di dalamnya apapun kondisinya.

Dari An Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)" (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun