Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Luar Dugaan

8 September 2017   07:35 Diperbarui: 8 September 2017   08:40 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Ada sebuah kisah yang mungkin sering kita alami. Di sebuah ATM terdapat 6 orang yang sedang berbaris mengantri untuk mengambil uang, sebut saja si A, B, C, D, E, dan F. A adalah antrian pertama (berdiri paling depan), B adalah antrian kedua (berdiri di belakang A), begitu seterusnya sampai F yang menjadi antrian terakhir (berdiri paling belakang). Sementara orang di dalam ruang ATM kita sebut si X. Pada saat antrian terjadi tiba-tiba si F yang berada di antrian terakhir menghampiri si A dan mengatakan bahwa dia buru-buru karena ada alasan yang mendesak dan meminta agar menjadi antrian pertama. Setelah mendengar alasan si F, maka si A menyetujuinya dimana kemudian si F berdiri di depan si A dan menjadi antrian pertama. 

Setelah si X keluar dari ruang ATM masuklah orang si F ke dalam ATM, dan si A kembali menjadi antrian pertama diikuti oleh B, C, D, dan E. Cerita dimulai ketika si F telah keluar dari ruang ATM dan si A mau masuk. Tiba-tiba si  B menarik si A dan mengatakan bahwa ini gilirannya si B. Si A tentu kaget dan memprotes pendapat si B. Kemudian si B mengatakan bahwa tadi si F hanya minta ijin  dan persetujuan untuk menjadi antrian pertama dari antrian paling buncit kepada si A, tidak kepada si B, C, D, dan E. Jadi ketika si A mengijinkan si F menjadi antrian pertama, maka si A telah melepaskan haknya sebagai antrian pertama dan memberikannya kepada si F, dan karena si A tidak minta ijin juga kepada si B, C, D, dan E maka si A tidak otomatis menjadi antrian kedua (jatah si B) tetapi harus menjadi antrian terakhir (posisi si F semula). Meskipun dengan perasaan masygul, si A akhirnya berbaris di belakang si E atau berada di antrian terakhir, dan mempersilahkan si B untuk masuk ruang ATM.

Begitulah kisah yang dialami si A ketika mempersilahkan si F yang berada di antrian paling belakang untuk menjadi antrian pertama. Kita tahu bahwa maksud si A baik, tetapi dia lupa efek dari kebaikannya, karena ada hak orang lain juga yang akan terlanggar apabila si A tetap pada posisinya sementara dia tidak pernah meminta ijin terlebih dahulu kepada pengantri lainnya. Ketertiban suatu masyarakat bisa dinilai dari kedisiplinan orang-orang untuk mengantri. Itulah alasannya kenapa banyak orangtua di negara barat sana yang lebih khawatir kalau anaknya tidak bisa antri daripada tidak bisa fisika, karena antri merupakan cerminan perilaku seseorang. 

Saya tidak sedang mengatakan bahwa saya sesorang yang bisa 100% mengantri dengan baik dan benar. Pernah suatu kali saya saya mencoba untuk naik sepeda motor ke kantor, berniat menunjukkan  bahwa saya bisa antri dan taat lalu lintas. Baru sampai perempatan traffic light kedua dari rumah, saya berada pada barisan terdepan, di belakang zebra cross, keadaan masih pagi sekitar jam 05.30 WIB dan lampu lalu lintas masih berwarna merah, tetapi banyak sepeda motor di belakang saya bolak-balik membunyikan klakson agar saya jalan karena dari arah berlawanan dan dua arah lainnya tidak banyak kendaraan melintas. 

Tidak kuat mendengar klakson dan takut ditabrak dari belakang oleh sepeda motor lainnya, maka sayapun ikut jalan meski lampu lalu lintas masih berwarna merah. Begitupun yang terjadi di lampu lalu lintas berikutnya (lampu lalu lintas ke 3) saya tidak kuasa melanggar lalu lintas lagi. Masya Allah, baru jalan sebentar saya sudah melanggar 2 kali, bagaimana sampai kantor. Akhirnya saya akalin ketika berhenti di lampu lalu lintas, saya ambil posisi sebelah kiri dan tidak dibaris terdepan. Sayapun kadang-kadang masih mempersilahkan teman untuk memotong antrian dan berdiri di depan atau di belakang saya persis, sementara di belakang saya ada orang lain yang mengantri.

Berusaha disiplin ketika antri ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Tetapi bukan berarti menjadi alasan bagi kita untuk memotong antrian, membiarkan teman untuk memotong antrian. Bukankah kita juga ingin melihat anak-anak kita disiplin dalam antrian. Bagaimana kita mengajarkan anak-anak mengantri sementara kita sendiri berkali kali memotong antrian dan tidak disiplin dalam antrian. Ketika kita tidak bisa mengantri,sama artinya kita merenggut hak orang lain yang mengantri dengan benar di belakang kita. Melanggar hak orang lain adalah sesuatu yang dilarang agama. Sesuatu yang dilarang agama tentu tidak baik dan sebaiknya kita hindari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun